Membangun Pelayanan di Tengah Dunia
Di
zaman yang semakin modern ini, hakikat gereja seringkali mulai di lupakan dalam
pastoral gereja yang sering diabaikan yakni gerakan cinta.
Memang sudah banyak pelayan mulai melihat dan berusaha menampilkan gereja
sebagai gerakan cinta, namun belum sungguh-sungguh dipikirkan dan diterapkan
secara konkret dalam kehidupan gereja secara penuh dan utuh. Salah satu sarana
agar dapat menyatukan setiap umat adalah cinta, yaitu dengan perhatian dan
ketulusan hati dari seorang gembala. Sejalan dengan itu saya tertarik dengan
ungkapan “MILTON MEYEROF”.[1] Memberi
perhatian berarti bukan untuk menguasai dan memiliki, namun justru membiarkan
agar orang lain dapat berkembang menurut hakikatnya sendiri. Dengan itu, maka
gereja sebagai gerakan cinta harus berorientasi pertama-tama kepada manusia bukan
pada suatu aturan, tujuan, tertentu pada masing-masing umat sebagai pribadi dan komunitas, bukan pada
program, organisasi, bahkan pada keterikatan-keterikatan tertentu. Program, tujuan,
dan organisasi hanyalah sebagai sarana untuk mencapai suatu gereja yang
harmonis antara gembala dan umatnya. Walaupun gembala mungkin tak bisa
menjangkau seluruh umat, namun ia harus berusaha untuk kontak langsung dan
memperhatikan sebanyak mungkin umat dari berbagai golongan ekonomi, usia, status,
dan budaya. Oleh karena itu sebelum mengasihi dan memperhatikan orang lain, seorang
gembala harus memperhatikan dirinya yakni kebutuhan dan perkembangan rohaninya.
Apa kebutuhan dan sejauh mana kebutuhan seorang gembala mempengaruhi perhatian
terhadap orang lain. Hal ini perlu diperhatikan agar jangan sampai perhatian
dan pengarahan pemimpin dikendalikan kebutuhannya sendiri. Jika ini sampai
terjadi, maka perhatian itu tidak membebaskan tetapi akan membelenggu. Misalkan,
kalau seorang pemimpin umat masih mempunyai kebutuhan yang besar akan rasa
aman, perlahan akan mungkin sangat di warnai rasa takut, khawatir, curiga, dan
takut kehilangan akan sesuatu. Beberapa pemimpin umat yang masih sungguh
melihat dan memperhatikan umatnya secara penuh. Dalam budaya massal seperti
sekarang ini, gereja juga cenderung melihat umatnya secara kuantitatif. Berapa
jumlah KK dan berapa jumlah jiwa dalam lingkungan itu? Berapa KK yang masih
dilayani. Melihat berarti juga mau menyapa. Memang kadang pemimpin umat jengkel
juga dengan cueknya umat kalau melihat gembalanya. Tetapi kalau gembalanya mau
menyapa biasanya mereka agak terbelalak kaget kemudian mulai tersenyum ramah.
Para gembala harus sadar bahwa umat hidup dalam masyarakat yang cuek dan dalam
gereja katolik juga di kenal cueknya. Apabila seorang pemimpin umat dapat
merangkul dan mengayomi umat,maka gereja akan semakin bersatu. Misalkan umat
diajak untuk bergabung dalam organisasi-organisasi gerejawi dan pendalaman
iman, tapi terkadang umat kurang bersemangat atau tidak antusias untuk
mengikutinya, maka para pemimpin umat mungkin harus menghadirkan metode-metode
yang menarik, tidak menegangkan, tidak membuat buat ngantuk. Model-model kuis
di televisi dapat ditiru dengan memodifikasi agar umat benar-benar terlibat
aktif dengan gembira,serta berani tampil. Para pemimpin umat perlu mulai lebih
memperhatikan manusianya dan bagaimana mereka dapat saling berinteraksi sebelum masuk ke soal iman. Bukankah Yesus
juga sangat peduli pada manusia, lebih daripada hukum agama? Hari sabat untuk
manusia, bukan manusia untuk hari sabat.[2]
Pastoral yang berorientasi pada manusia mengandaikan kontak langsung dengan
manusia. Terkadang pemimpin umat tak bisa mengadakan kunjungan semua umat.
Tetapi itu jangan dijadikan sebagai alasan untuk tidak mengadakan kunjungan
sama sekali. ”Daripada tidak bisa mengunjungi semua, lebih baik sekalian tidak
di kunjungi semua. Yesus juga tak mungkin sebagai manusia mengenal semua
pengikutnya, tapi Dia bisa mengenal sungguh-sungguh rasulnya. Kalau
diperhatikan para rasul-Nya berasal dari banyak golongan: nelayan, pemungut
cukai, aktivis politik. Selain rasul, Yesus juga memberi perhatian dan kenal
baik dengan orang Farisi, pelacur dan sebagainya. Dari para rasul Yesus
mengenal berbagai orang yang mengikutinya dan mengetahui kebutuhan-kebutuhannya.
Mengenal sesorang berarti juga mengenal keterbatasan dan kelemahannya. Namun
kita tetap menerima dan mempercayainya, karena kita yakin panggilan dan rahmat
Tuhan jauh lebih kuat dari kelemahan dan dosanya.
Hakikat
Imamat
Umat
beriman akan bersatu padu dalam Kristus maka para imam diangkat untuk menjadi
pelayan, yang dalam persekutuan Umat beriman mempunyai kuasa Tahbisan suci
untuk mempersembahkan kurban dan mengampuni dosa-dosa,[3]
dan demi nama Kristus secara resmi menunaikan tugas imamat bagi orang-orang.
Maka dari itu, sesudah mengutus para Rasul seperti Ia sendiri telah diutus oleh
Bapa,[4]
Kristus, melalui para Rasul itu,mengikutsertakan para pengganti mereka, yakni
para Uskup, dalam pentakdisan serta perutusan-Nya[5]
tugas pelayanan Uskup, pada tingkat yang terbawah kepadanya, diserahkan para
imam[6]
supaya mereka, sesudah ditahbiskan imam, menjadi rekan-rekan kerja bagi tingkat
para Uskup, untuk sebagaimana mestinya melaksanakan misi kerasulan yang mereka terima
dari Kristus.[7]
Karena Sakramen Tahbisan, para Imam Perjanjian Baru menunaikan tugas sebagai
bapa dan guru, yang amat luhur dan penting sekali dalam dan bagi Umat Allah.
Akan tetapi, bersama sekalian orang beriman, mereka sekaligus menjadi
murid-murid Tuhan, yang berkat rahmat panggilan Allah diikutsertakan dalam
Kerajaan-Nya.[8]
Sebab bersama siapa saja yang telah lahir lahir kembali karena Babtis, para
Imam menjadi sesama saudara,[9]
sebagai anggota satu Tubuh Kristus yang sama, yang pembangunannya diserahkan
kepada semua anggota.[10]
Oleh karena itu,para imam harus memimpin umat sedemikian rupa sehingga mereka
tidak mencari kepentingan sendiri, melainkan kepentingan Yesus Kristus,[11]
bekerja sama dengan umat beriman awam, dan di tengah mereka membawakan diri
menurut teladan Sang Guru,yang diantara sesama “Tidak datang untuk
dilayani,melainkan untuk melayani, dan menyerahkan nyawanya demi penebusan
banyak orang.”[12]
Menerima berarti juga mempercayai. Mempercayai berarti juga mau mengajak umat
untuk berjuang. Percaya bahwa Tuhan juga memanggil dan mempercayai dia untuk
melakukan sesuatu di dunia ini. Dengan itu apapun yang di lakukan oleh seorang
imam yaitu untuk melayani kebutuhan religius umat mengalir melalui hubungan
pastoral. Tindakan perjanjian untuk memercayai dan menerima kepercayaan
menumbuhkan kesetiaan untuk berpegang pada perintah moral fundamental bagi pelayanan pastoralnya. Dalam
etika profesional perintah ini disebut tanggungjawab berdasarkan kepercayaan.
Ini berarti bahwa imam pertama-tama melaksanakan kuasa dan wibawa seorang imam
untuk melayani kebutuhan mereka yang mencari pelayanan pastoral dan bahwa imam
tidak akan menyalahgunakan keadaan mereka yang mudah terluka, tapi memberikan
perhatian yang lebih besar kepada kepentingan mereka daripada kepentingannya
sendiri. Untuk lebih bebas dalam melayani umat maka para imam harus
bertanggungjawab mempertahankan batas-batas hubungan pastoral. Batas-batas yang
jelas menciptakan ruang yang aman bagi orang-orang lain untuk memusatkan
pengalaman-pengalamannya yang dapat membangun iman umat. Tanggungjawab yang
berlandasan kepercayaan menyoroti inti tuntutan etis hubungan pastoral. Pusat
tanggungjawab ini adalah penanganan yang bijaksana.
DAFTAR
PUSTAKA
DOKUMEN
1.
Hardawiryana,SJ,
R. Dokumen Konsili Vatikan II.
Jakarta: Obor, 2012
2.
Alkitab
deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2007
BUKU
1. Riyanto
CM,Dr.Armada,Membangun Gereja dari
Konteks,Malang:Dioma,2004
[1]Armada Riyanto CM, Membangun Gereja dari Konteks,Dioma,
Ungkapan tentang seni memperhatikan:memperhatikan berarti menolong yang lain
berkembang.
[2] Bdk.Mat 12:1-3
[3] Bdk.1Ptr 2:5 dan 9
[4] Bdk.Yoh 20:21
[5] Lih.KONSILI VATIKAN
II,Konstitusi Dogmatis tentang Gereja,art.28.
[6] Lih.DOKUMEN KONSILI VATIKAN II, Presbyterorum Ordinis
[7] Lih.DOKUMEN KONSILI VATIKAN II,Presbyterorum Ordinis(hakikat imam)
[8] Bdk. 1Tes 2:12;Kol 1:13.
[9] Bdk. Mat 23:8.
[10] Bdk. Ef 4:7 dan 16.
[11]Bdk. Flp 2:21.
[12] Bdk. Mat 20:28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar