Pribadi St. Thomas Aquinas
Thomas Aquinas (1225-1274) adalah
seorang imam Dominikan yang hidup pada puncak zaman skolastik (abad ke-12 dan
ke-13). Thomas Aquinas atau Thomas dari Aquino
(1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca, dekat Napels, Italia. Lahir dari sebuah
keluarga bangsawan. Semula ia belajar di Napels, kemudian di Paris, menjadi
murid Albertus Agung, lalu di Koln, dan kemudian di Paris lagi. Sejak tahun
1252 ia mengajar di Paris dan Italia.
Aquinas seorang ahli teologi Katolik dan filosof. Ia menerima gelar
Doktor dalam teologi dari Universitas Paris dan mengajar di sana sampai tahun
1259. Kemudian selama 10 tahun ia mengajar di biara-biara Dominikan di sekitar
Roma kemudian kembali ke Paris, mengajar dan menulis. Ia mempelajari
karya-karya besar Aristoteles secara mendalam dan ikut serta dalam pelbagai
perdebatan. Ketika Thomas meninggal
dunia pada usia 49 tahun (tanggal 7 Maret 1274),
ia meninggalkan banyak karya tulisan.
Thomas Aquinas merupakan tokoh
terpenting pada zaman itu. Ia berjasa dalam mempersatukan secara orisinil
unsur-unsur pemikiran Agustinus, yang dipengaruhi kuat oleh filsafat
neo-platonisme, dengan filsafat Aristoteles. Karya-karya Thomas Aquinas,
terutama Summa Teologiae I-III,
termasuk karangan-karangan terpenting dari seluruh kesusastraan kristiani. Pada
tahun 1879, lewat sebuah ensiklik atau surat edaran resmi dari kepausan, ajaran
Thomas (Thomisme) dinyatakan sebagai dasar bagi filsafat kristiani dan
karenanya,, wajib diajarkan kepada semua sekolah filsafat dan teologi Katolik.
Namun bukan berarti bahwa pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas hanya memberi
impuls-impuls kepada para pemikir ajaran Katolik saja. Pengaruhnya luas dan menjebol
batas-batas dinding intelektual Gereja.[1]
Karya-karya Thomas Aquinas[2]
1.
De ente et essential (Tentang “Pengada” dan Hakikat)
Tulisan ini merupakan uraian singkat tentang metafisika ‘ada’, yang
mau menyatakan apa yang dimaksud dengan
kata ‘hakikat’ dan ‘pengada’ serta bagaimana hal itu dapat ditemukan dalam
bergai jenis benda dan hubungannya dengan paham-paham logis, yakni ‘jenis’,
‘ciri’ dan ‘perbedaan’. Tulisan ini ada dari sekitar tahun 1250.
2.
Summa contra gentiles (Ikhtisar Melawan Orang-Orang Kafir)
Antara tahun 1260-1264. Karya filosofis Summa berarti uraian teratur
mengenai berbagai tema dalam kesatuan yang sistematis. Kebenaran iman umat
Katolik, melawan para pengajar sesat dari kalangan pengikut Aristoteles
berbangsa Arab dan melawan para pengikut filsafat alam dari zaman Yunani kuno.
3.
Summa theologiae (Ikhtisar Teologi)
Summa teologi (antara tahun 1267-1273) merupakan Mahakarya Thomas
Aquinas. Tulisan ini memuat tiga tema pokok, yakni Allah dan ciptaan,
keteraturan dunia yang bersifat etis,
serta manusia dan keselamatan.
4.
Tentang Kekuasaan Politis
Traktat
tentang misi Ilahi yang diemban oleh kerajaan, antara tahun 1265-1267.
Dalam pembahasan kali ini, Thomas Aquinas lebih banyak menggunakan
Summa teologi untuk mecari dan mendefenisikan apa itu pengetahuan dan
kebenaran.
PENGETAHUAN DAN KEBENARAN
Zaman skolastik adalah zaman di mana terjadi polusi kontroversi doktrinal
antara berbagai paham atau temuan-temuan baru yang berpengaruh besar dalam lingkungan
pendidikan saat itu. Banyak paham yang memunculkan pengertian-pengertian baru
tentang pengetahuan manusia dan kebenarannya.
Beberapa contoh paham yang muncul pada zaman itu adalah paham Agustinisme
yang mengacu kembali pada ajaran St. Agustinus, yakni menekankan kembali
keunggulan kehendak atas intelek, terbentuknya pengetahuan tanpa interferensi awal
obyek-obyek eksternal dan lain sebagainya.[3]
Paham Agustinisme melawan paham Aristotelianisme. Masih banyak paham lain yang
muncul ketika itu yang membuat manusia khususnya para pelajar mengalami kesulitan
terutama dalam mencari makna atau pemahaman akan kebenaran.
Dari situasi tersebut di atas, muncullah St. Thomas Aquinas. Dia
ingin meretas jalan baru demi perkembangan ilmu teologi dan filsafat dalam
kehidupan kampus. St. Thomas menaruh perhatian khusus pada persoalan
pengetahuan dan kebenaran. Ciri khas pengetahuan manusia terletak dalam
prosedur logis yang harus ditempuh untuk mengerti realitas dengan lebih baik
dan dengan itu mencapai kebenaran.[4]
Pernyataan ini merupakan hasil karya St. Thomas yang disusun dalam karyanya
yang terkenal, yaitu De Veritate.
Akal budi manusia adalah tatanan yang paling rendah dalam tatanan
hirarki intelektual. Kemampuan akal budi manusia sangat terbatas dalam mengenal
realitas. Pengenalan akan realitas akan mempermudah manusia untuk memperoleh
kebenaran. St. Thomas lebih menerapkan konsep abstraksi Aristoteles dalam
menjelaskan kekhasan pengetahuan manusia.
Untuk memahami kebenaran St. Thomas Aquinas, kita akan lebih dahulu
mengerti atau memahami apa itu pengetahuan, intelek, dan pada akhirya
sampai pada kebenaran itu sendiri. Tiga
hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebab untuk sampai
pada pemahaman akan kebenaran, manusia harus lebih dahulu mengetahui tentang
suatu hal. Dari pengetahuan itu akan muncul apa yang dinamakan dengan konsep,
selanjutnya konsep ini akan diproses oleh indra
dalam dan pada akhirnya kebenaran akan ditemukan.
a.
Pengetahuan
Pengetahuan manusia selalu bertitik-tolak dan bersumber dari data
dunia inderawi. Dalam hal ini, St. Thomas merasa terpanggil untuk menjelaskan
hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera manusia, yakni hal-hal yang riil.
Pertanyaan mendasar dan yang sangat penting untuk dikemukakan adalah bagaimana
adanya hal/barang-barang riil dan apa syarat dasar adanya.
Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa pengetahuan manusia
bersumber dari data inderawi atau yang disebut dengan pengalaman. Maka manusia
harus menggunakan alat-alat indera (panca indera) dengan baik. Sehingga bisa
dikatakan bahwa pengetahuan itu adalah karya dari manusia sendiri yaitu melalui
daya tangkap indera. Daya-daya penginderaan (tenaga untuk melihat, mendengar)
ditentukan oleh benda-benda yang ada di luar. Supaya indera bisa bekerja dengan
baik, manusia perlu melibatkan jiwa dan raga, bukan hanya kegiatan dari jiwa
yang menggunakan badan, seperti yang disampaikan oleh St. Agustinus yang juga
diteruskan oleh Rene Deskartes.
Di atas keterlibatan bersama
jiwa dan badan ini, Thomas Aquinas mendasarkan teorinya tentang kesatuan
substansial jiwa dan badan. Dalam diri manusia, jiwa lebih bersifat pasif, baik
dalam pengenalan inderawi maupun pengenalan akali. Indra-indra dari kodratnya
terarah untuk menangkap yang partikular. Sehingga phantasma[5]
yang tersimpan dalam imajinasi merupakan phantasma
dari objek-objek partikular. Apa yang diperoleh oleh indera luar akan mengalir kemudian diatur dan diproses oleh indera dalam hingga menjadi phantasma. Tanpa phantasma tidak ada
konsep, keputusan atau hipotesis. Tetapi antara phantasma dengan konsep
memiliki perbedaan fungsi. Phantasma berfungsi untuk mengungkapkan hal atau
benda-benda yang partikular sedangkan konsep mengungkapkan sesuatu yang umum,
universal dan bukan hal yang tertentu. Konsep tidak dapat diungkapkan oleh
suatu objek badani, tetapi memerlukan suatu kemampuan pengenalan spiritual,
yaitu intelek (ST 1a, q.84,a. 6).
b.
Intelek
Intelek manusia tidak
mengandung ide-ide bawaan tetapi sungguh untuk menerima konsep-konsep. Dia
(intelek) tidak berada dalam suatu aktivitas mengenal secara penuh dan sempurna
tetapi memperolehnya dengan berproses dari potensi ke aktus. Proses pengenalan
yang dilakukan oleh intelek tidak bisa dipisahkan dari data-data inderawi.
Tanpa tangkapan indera, intelek juga tidak akan bisa bekerja atau berproses.
Dilihat dari fungsinya,
intelek manusia dibedakan menjadi dua, yaitu intellectus possibilis dan
intellectus agen. Dikatakan berbeda namun sebenarnya, kedua intellectus ini
bekerja saling melengkapi. Intellectus possibilis adalah bagian intellectus
yang memiliki potensi untuk mengenal. Intellectus ini sering juga disebut
sebagai kemampuan intelektual dan spiritual yang sesungguhnya. Intellectus agen bekerja untuk menerangi
proses abstraksi. Yang dimaksud dengan abstraksi adalah aktivitas menerangi dan
memproses species dalam phantasma. Lebih sederhananya adalah karena intelektus
possibilis itu harus diaktualkan, maka perlulah intelek tersebut diarahkan dan
ditentukan untuk mengetahui sesuatu, yaitu spesies.
Pengetahuan ini masih bersifat universal sementara dalam kenyataan yang ada
adalah individu, maka perlulah spesies tersebut diproses oleh suatu aktivitas menerangi inteligibilitas phantasma.
Aktivitas inilah yang disebut dengan abstraksi.
Proses abstraksi tidak memerlukan iluminasi atau
intervensi ilahi dan intelektus agen bukanlah intelektus ilahi melainkan kemampuan
khas dan imanen pada setiap jiwa. Setiap orang memiliki kemampuan khas ini dan
akan lebih baik jika manusia tersebut mampu mengembangkannya. Intelek agen
bukanlah mengetahui tetapi mengolah (elaborasi) dan memproses secara mendalam
suatu species supaya mampu menentukan dan mengarahkan intelek possibilis.
Berkat proses inilah manusia bisa mengenal dengan benar.
Jadi, proses mengenal
manusia bisa dirangkaikan sebagai berikut;
Intelek
possibilis sejauh sebagai pengenal adalah potensi murni, yaitu suatu
keterbuakaan total pada obyek. Saat diaktuskan oleh spesies intelligibilis,
potensi itu menjadi aktus, yaitu mengenal. Mengingat obyek yang dikenal intelek
bukanlah realitas apa adanya secara individual, tapi dalam realitas makna
universal, maka intelek possibilis harus mengungkapkan arti tersebut. Realitas
makna universal itulah konsep yang sesungguhnya, verbum mentis (ST Ia q.34,a.1; Quodibet. V.a.9).[6]
c.
Kebenaran
Kebenaran merupakan tema
pokok dalam epistemologi. Kebenaran adalah tujuan utama orang dalam mencari
pengetahuan. St. Thomas Aquinas sangat menghormati St. Agustinus sebagai
gurunya. Sebagaimana sikap St. Agustinus tentang kebenaran, St. Thomas juga
menjunjung tinggi kebenaran di atas segalanya. Dia mengabdikan seluruh hidupnya
untuk Tuhan dan kebenaran-Nya, untuk kebenaran manusia dan kebenaran barang-barang
ciptaan lainnya. Oleh karena pengabdian diri secara total, St. Thomas sampai
merasa jatuh cinta kepada kebenaran, Kebijaksanaan sejati, Sang Sabda (Logos),
Hukum Abadi, Allah sendiri.
Untuk menjelaskan tentang
keberadaan kebenaran pengetahuan atau kebenaran logis, St. Thomas bertitik
tolak dari kebenaran ontologis. Kebenaran ontologis atau kebenaran ada terletak
dalam kesesuaiannya dengan suatu ide ilahi, yaitu dalam ada yang harus ada,
untuk merealisasikan secara penuh naturanya.[7]
Secara ontologis intelek manusia masih terbatas dan belum mampu menangkap
kesempurnaan dari segala sesuatu, tetapi hanya mampu mengasimilasikan diri
padanya yaitu membuat dirinya mirip dengan sesuatu tersebut. Sehingga bisa
didefenisikan bahwa kebenaran itu adalah kesesuaian antara akal dengan realitas
(adaequatio intellectus ad rem).
Tetapi anehnya, akal sendiri hanya memahami sasuatu hal secara sempurna tanpa
mengetahui kesesuaian itu. Dia berada dalam kebenaran tetapi, tetapi belum tahu
kebenaran. Mungkin ibarat manusia yang melakukan suatu kegiatan tanpa
mengetahui satu nilai tertentu di balik kegiatannya tersebut. Untuk mngetahui
kebenaran itu, akal harus kembali berefleksi tentang yang dipahami dan
menyatakan bahwa hal tersebut memang berada demikian adanya. Dengan menyatakan
hal tersebut maka muncullah sebuah keputusan, dimana tempat kebenaran
bersemayam.
Untuk menentukan jenis
keputusan yang mengandung kebenaran, St. Thomas kembali pada pengetahuan
inderawi. Dalam pengetahuan manusia, indera adalah alat yang memampukan dia
untuk berkontak dengan hal-hal di luarnya dan juga sebagai dasar yang
membawanya masuk pada pengetahuan intelektual(pengetahuan tertinggi). Tanpa indera,
manusia tidak akan tahu apa-apa yang berada di luar dirinya. Indera
menyampaikan apa yang diperolehnya, yaitu obyek yang sesungguhnya, kemudian
inteleklah memeriksa dan memutuskan. Apa yang ditangkap oleh indera tidak
pernah keliru atau salah, kecuali alat indera tersebut mengalami gangguan atau
kelainan.
Dari cara kerjanya, bisa
dikatakan bahwa keputusan intelek dibatasi untuk mengatakan tentang sesuatu itu
hadir atau ada. Keputusan intelek tentang kehadiran atau keberadaan sesuatu
adalah infallibel, jika indera
menawarkan/ menyampaikan kepada intelek suatu hal tanpa menjelaskan apa
hakekatnya dan di mana hal tersebut berada. Kita kembali pada perkataan
sebelumnya yang mengatakan; tangkapan indera manusia tidak bisa keliru sejauh
tidak ada kelainan, Intelek bisa keliru karena adanya dorongan kehendak.
Dalam menentukan
kebenaran, manusia sendiri sering mengalami atau melakukan kekeliruan. Ada dua
contoh keputusan yang sering kurang bisa dibedakan dengan kebenaran itu
sendiri. Pertama, jika keputusan diberikan
tanpa kaitan antar term baik secara langsung dan tidak langsung, tapi hanya
melihat keharusan dan kesempatan untuk menerima afirmasi lain,
keputusan demikian didasarkan pada iman.
Kedua, bila keputusan diberikan
berdasar pada kemungkinan disebut opini. Sementara ketika tidak ada
kejelasan mengenai hubungan antar term, keputusan tersebut diberikan atas dorongan kehendak (voluntas) dan saat
itulah kekeliruan tersebut bisa terjadi. Namun bukan berarti bahwa kehendak
merupakan sumber kekeliruan, tetapi keputusan yang keliru adalah salah satu
dari sekian banyak pernyataan yang dilakukan atas dorongan kehendak yang muncul
karena kurang adanya kejelasan intrinsik (hubungan
antar term) dan kejelasan ekstrinsik (kejelasan
keharusan dan kesempatan untuk menerima afirmasi yang lain).
Kita kembali pada apa
yang ditekankan oleh St. Thomas mengenai putusan dan kebenaran. Kebenaran atau
kepalsuan ditemukan hanya dalam putusan. Dengan demikian, kebenaran tercapai
terutama hanya dalam dan melalui aktivitas putusan. Sebuah putusan dikatakan
benar bila putusan tersebut cocok atau sesuai dengan realitas eksternal, yaitu
saat intelek mengatakan sesuatu itu adalah seperti itu atau tidak.
Relevansi dengan Kehidupan Zaman Sekarang
Usaha St. Thomas Aquinas
dalam menjelaskan proses mencari sebuah kebanaran, sungguh luarbiasa. Saya rasa
apa yang telah diajarkannya tidak berhenti sampai di situ saja (hanya sebagai
teori), tetapi juga nyata dalam kehidupan manusia saat itu dan saat ini. Saya
sendiri juga setuju dengan ajaran ini. Mengapa saya katakan demikian?
Alat indera memang sangat
menentukan pandangan atau penilaian seseorang akan sesuatu yang ada di luar
dirinya. Tanpa alat indera, manusia tidak akan bisa berdialog atau berkontak
dengan apa yang ada di luar dirinya. Contohnya saja, bagaimana manusia bisa
mengatakan bahwa langit yang berada di atasnya berwarna biru, jika dia tidak
bisa melihat? Atau bagaimana dia bisa mengetahui bahwa udara itu dingin, jika
indera peraba/perasanya tidak ada atau tidak berfungsi? Jadi, apa yang
diajarkan oleh St. Thomas di atas sungguh sangat masuk akal.
Di zaman sekarang,
manusia sering memutuskan atau menyimpulkan sesuatu tanpa melihat dan mendengar
tentang sesuatu tersebut. Mereka mengambil keputusan hanya karena hal tersebut
sudah merupakan sebuah keharusan, kebiasaan dan juga karena adanya sebuah
keebutuhan. Menurut ajaran St. Thomas, itulah yang dikatakan dengan kekeliruan.
Keputusan tersebut adalah keputusan yang salah atau keliru. Mereka tidak
memperhatikan apakah keputusan yang diambil sesuai dengan yang sesungguhnya
(realitas). Dalam hal ini, yang salah bukanlah alat indera tetapi akal budi,
yang mengambil keputusan. Indera luar selalu menyampaikan apa yang ditangkapnya
dan tanpa mengubah apapun tentang tangkapan tersebut. Tetapi karena manusia
sudah didorong oleh sebuah kehendak tertentu, maka apa yang disampaikan oleh
indera luar tidak diproses sama sekali. Itu berarti bahwa manusia tersebut
tidak memandang realitas.
Ajaran St. Thomas yang
mengatakan; tangkapan indera manusia tidak bisa keliru sejauh tidak ada
kelainan, intelek bisa keliru karena adanya dorongan kehendak, sungguh sangat
terbukti di zaman sekarang ini. Hal ini bisa kita lihat dalam masalah yang
masih hangat di Negara kita, yakni korupsi. Megapa para pemimpin negara kita
bisa korupsi? Bukannya mereka adalah wakil rakyat dalam menyampaikan
aspirasinya? Bukankah mereka sudah melihat kekurangan-kekurangan masyarakat?
Tetapi mengapa mereka seolah-olah tidak pernah melihat hal itu?
Jawaban yang lebih tepat
untuk semua pertanyaan tersebut adalah karena mereka sudah dikuasai oleh kehendak. Kehendak itulah yang membuat
mereka keliru dan jauh dari realitas. Mata mereka tentu melihat masyarakat yang
ada di sekitar mereka. Telinga mereka tentu mendengar jeritan atau keluhan
masyarakat di sekitar mereka dan lain sebagainya dan itu semua benar. Alat
indera mereka sudah bekerja secara baik dan menangkap apa yang ada dalam realitas
tetapi indera tersebut sudah dibutakan oleh sebuah kehendak. Kehandak apa?
Kehendak untuk segera mencukupi kebutuhan diri sendiri dan untuk bisa kaya
mendadak.
Masih banyak lagi
kegiatan di zaman sekarang ini yang saya rasa sebagai relevansi dari ajaran St.
Thomas ini. Salah satu contoh yang sering kita temukan dalam dunia pendidikan
adalah penelitian. Dalam penelitian,
kemampuan indera sangat diutamakan. Sebelum mengadakan sebuah penelitian, orang
tentu mempersiapkan alat inderanya dengan baik, mulai dari penglihatan,
pendengarang, peraba dan alat indera lain. Untuk apa? Tidak lain adalah untuk
menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Apa yang mereka simpulkan harus sesuai dengan realitas yang ada. Mereka juga
harus lepas dari kehendak-kehendak lain yang tidak berhubungan dengan tujuan penelitian.
Mereka harus konsentrasi penuh mengarahkan seluruh indera, hati dan pikiran
mereka pada apa yang mereka teliti. Semua hal di atas menunjukkan betapa
penting dan berharganya sebuah kebenaran. Semua orang pasti membutuhkan
kebenaran, bukan kekeliruan. Kebenaran itu akan kita temukan menggunakan indera
kita secara benar. Karena dengan indera yang baik, kita mengetahui.
[1] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Yogyakarta:
Kanisius, 2004, hlm. 135.
[2] Ibid, hlm. 152-153.
[3] Bdk., Dominikus Saku, Problematika Pengetahuan & Kebenaran
dalam De Veritate St. Thomas Aquinas, dalam Mengabdi Kebenaran, hlm. 29.
[4] Ibid, hlm. 35
[5] Phantasma adalah produk akhir dari aktivitas inderawi.
[6] Diktat Epistemologi, oleh Rm. Valent, CP, hlm. 35
[7] ST Ia, q.16,a.1&2.