Kamis, 07 November 2013

MAKALAH THOMAS AQUINAS


Pribadi St. Thomas Aquinas

Thomas Aquinas (1225-1274) adalah seorang imam Dominikan yang hidup pada puncak zaman skolastik (abad ke-12 dan ke-13). Thomas Aquinas atau Thomas dari Aquino (1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca, dekat Napels, Italia. Lahir dari sebuah keluarga bangsawan. Semula ia belajar di Napels, kemudian di Paris, menjadi murid Albertus Agung, lalu di Koln, dan kemudian di Paris lagi. Sejak tahun 1252 ia mengajar di Paris dan Italia.  Aquinas seorang ahli teologi Katolik dan filosof. Ia menerima gelar Doktor dalam teologi dari Universitas Paris dan mengajar di sana sampai tahun 1259. Kemudian selama 10 tahun ia mengajar di biara-biara Dominikan di sekitar Roma kemudian kembali ke Paris, mengajar dan menulis. Ia mempelajari karya-karya besar Aristoteles secara mendalam dan ikut serta dalam pelbagai perdebatan.   Ketika Thomas meninggal dunia pada usia 49 tahun (tanggal 7 Maret 1274), ia meninggalkan banyak karya tulisan.
Thomas Aquinas merupakan tokoh terpenting pada zaman itu. Ia berjasa dalam mempersatukan secara orisinil unsur-unsur pemikiran Agustinus, yang dipengaruhi kuat oleh filsafat neo-platonisme, dengan filsafat Aristoteles. Karya-karya Thomas Aquinas, terutama Summa Teologiae I-III, termasuk karangan-karangan terpenting dari seluruh kesusastraan kristiani. Pada tahun 1879, lewat sebuah ensiklik atau surat edaran resmi dari kepausan, ajaran Thomas (Thomisme) dinyatakan sebagai dasar bagi filsafat kristiani dan karenanya,, wajib diajarkan kepada semua sekolah filsafat dan teologi Katolik. Namun bukan berarti bahwa pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas hanya memberi impuls-impuls kepada para pemikir ajaran Katolik saja. Pengaruhnya luas dan menjebol batas-batas dinding intelektual Gereja.[1]

Karya-karya Thomas Aquinas[2]
1.      De ente et essential (Tentang “Pengada” dan Hakikat)
Tulisan ini merupakan uraian singkat tentang metafisika ‘ada’, yang mau  menyatakan apa yang dimaksud dengan kata ‘hakikat’ dan ‘pengada’ serta bagaimana hal itu dapat ditemukan dalam bergai jenis benda dan hubungannya dengan paham-paham logis, yakni ‘jenis’, ‘ciri’ dan ‘perbedaan’. Tulisan ini ada dari sekitar tahun 1250.
2.      Summa contra gentiles (Ikhtisar Melawan Orang-Orang Kafir)
Antara tahun 1260-1264. Karya filosofis Summa berarti uraian teratur mengenai berbagai tema dalam kesatuan yang sistematis. Kebenaran iman umat Katolik, melawan para pengajar sesat dari kalangan pengikut Aristoteles berbangsa Arab dan melawan para pengikut filsafat alam dari zaman Yunani kuno.
3.      Summa theologiae (Ikhtisar Teologi)
Summa teologi (antara tahun 1267-1273) merupakan Mahakarya Thomas Aquinas. Tulisan ini memuat tiga tema pokok, yakni Allah dan ciptaan, keteraturan dunia yang bersifat etis,  serta manusia dan keselamatan.
4.      Tentang Kekuasaan Politis
Traktat tentang misi Ilahi yang diemban oleh kerajaan, antara tahun 1265-1267.

Dalam pembahasan kali ini, Thomas Aquinas lebih banyak menggunakan Summa teologi untuk mecari dan mendefenisikan apa itu pengetahuan dan kebenaran.


PENGETAHUAN DAN KEBENARAN

Zaman skolastik adalah zaman di mana terjadi polusi kontroversi doktrinal antara berbagai paham atau temuan-temuan baru yang berpengaruh besar dalam lingkungan pendidikan saat itu. Banyak paham yang memunculkan pengertian-pengertian baru tentang pengetahuan manusia dan kebenarannya.
Beberapa contoh paham yang muncul pada zaman itu adalah paham Agustinisme yang mengacu kembali pada ajaran St. Agustinus, yakni menekankan kembali keunggulan kehendak atas intelek, terbentuknya pengetahuan tanpa interferensi awal obyek-obyek eksternal dan lain sebagainya.[3] Paham Agustinisme melawan paham Aristotelianisme. Masih banyak paham lain yang muncul ketika itu yang membuat manusia khususnya para pelajar mengalami kesulitan terutama dalam mencari makna atau pemahaman akan kebenaran.
Dari situasi tersebut di atas, muncullah St. Thomas Aquinas. Dia ingin meretas jalan baru demi perkembangan ilmu teologi dan filsafat dalam kehidupan kampus. St. Thomas menaruh perhatian khusus pada persoalan pengetahuan dan kebenaran. Ciri khas pengetahuan manusia terletak dalam prosedur logis yang harus ditempuh untuk mengerti realitas dengan lebih baik dan dengan itu mencapai kebenaran.[4] Pernyataan ini merupakan hasil karya St. Thomas yang disusun dalam karyanya yang terkenal, yaitu De Veritate.
Akal budi manusia adalah tatanan yang paling rendah dalam tatanan hirarki intelektual. Kemampuan akal budi manusia sangat terbatas dalam mengenal realitas. Pengenalan akan realitas akan mempermudah manusia untuk memperoleh kebenaran. St. Thomas lebih menerapkan konsep abstraksi Aristoteles dalam menjelaskan kekhasan pengetahuan manusia.
Untuk memahami kebenaran St. Thomas Aquinas, kita akan lebih dahulu mengerti atau memahami apa itu pengetahuan, intelek, dan pada akhirya sampai  pada kebenaran itu sendiri. Tiga hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebab untuk sampai pada pemahaman akan kebenaran, manusia harus lebih dahulu mengetahui tentang suatu hal. Dari pengetahuan itu akan muncul apa yang dinamakan dengan konsep, selanjutnya konsep ini akan diproses oleh indra dalam dan pada akhirnya kebenaran akan ditemukan.

a.       Pengetahuan
Pengetahuan manusia selalu bertitik-tolak dan bersumber dari data dunia inderawi. Dalam hal ini, St. Thomas merasa terpanggil untuk menjelaskan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera manusia, yakni hal-hal yang riil. Pertanyaan mendasar dan yang sangat penting untuk dikemukakan adalah bagaimana adanya hal/barang-barang riil dan apa syarat dasar adanya.
Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa pengetahuan manusia bersumber dari data inderawi atau yang disebut dengan pengalaman. Maka manusia harus menggunakan alat-alat indera (panca indera) dengan baik. Sehingga bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu adalah karya dari manusia sendiri yaitu melalui daya tangkap indera. Daya-daya penginderaan (tenaga untuk melihat, mendengar) ditentukan oleh benda-benda yang ada di luar. Supaya indera bisa bekerja dengan baik, manusia perlu melibatkan jiwa dan raga, bukan hanya kegiatan dari jiwa yang menggunakan badan, seperti yang disampaikan oleh St. Agustinus yang juga diteruskan oleh Rene Deskartes.
 Di atas keterlibatan bersama jiwa dan badan ini, Thomas Aquinas mendasarkan teorinya tentang kesatuan substansial jiwa dan badan. Dalam diri manusia, jiwa lebih bersifat pasif, baik dalam pengenalan inderawi maupun pengenalan akali. Indra-indra dari kodratnya terarah untuk menangkap yang partikular. Sehingga phantasma[5] yang tersimpan dalam imajinasi merupakan phantasma dari objek-objek partikular. Apa yang diperoleh oleh indera luar akan mengalir kemudian diatur dan diproses oleh indera dalam hingga menjadi phantasma. Tanpa phantasma tidak ada konsep, keputusan atau hipotesis. Tetapi antara phantasma dengan konsep memiliki perbedaan fungsi. Phantasma berfungsi untuk mengungkapkan hal atau benda-benda yang partikular sedangkan konsep mengungkapkan sesuatu yang umum, universal dan bukan hal yang tertentu. Konsep tidak dapat diungkapkan oleh suatu objek badani, tetapi memerlukan suatu kemampuan pengenalan spiritual, yaitu intelek (ST 1a, q.84,a. 6).

b.      Intelek
Intelek manusia tidak mengandung ide-ide bawaan tetapi sungguh untuk menerima konsep-konsep. Dia (intelek) tidak berada dalam suatu aktivitas mengenal secara penuh dan sempurna tetapi memperolehnya dengan berproses dari potensi ke aktus. Proses pengenalan yang dilakukan oleh intelek tidak bisa dipisahkan dari data-data inderawi. Tanpa tangkapan indera, intelek juga tidak akan bisa bekerja atau berproses.
Dilihat dari fungsinya, intelek manusia dibedakan menjadi dua, yaitu intellectus possibilis dan intellectus agen. Dikatakan berbeda namun sebenarnya, kedua intellectus ini bekerja saling melengkapi. Intellectus possibilis adalah bagian intellectus yang memiliki potensi untuk mengenal. Intellectus ini sering juga disebut sebagai kemampuan intelektual dan spiritual yang sesungguhnya. Intellectus agen bekerja untuk menerangi proses abstraksi. Yang dimaksud dengan abstraksi adalah aktivitas menerangi dan memproses species dalam phantasma. Lebih sederhananya adalah karena intelektus possibilis itu harus diaktualkan, maka perlulah intelek tersebut diarahkan dan ditentukan untuk mengetahui sesuatu, yaitu spesies. Pengetahuan ini masih bersifat universal sementara dalam kenyataan yang ada adalah individu, maka perlulah spesies tersebut diproses oleh suatu aktivitas menerangi inteligibilitas phantasma. Aktivitas inilah yang disebut dengan abstraksi.
Proses  abstraksi tidak memerlukan iluminasi atau intervensi ilahi dan intelektus agen bukanlah intelektus ilahi melainkan kemampuan khas dan imanen pada setiap jiwa. Setiap orang memiliki kemampuan khas ini dan akan lebih baik jika manusia tersebut mampu mengembangkannya. Intelek agen bukanlah mengetahui tetapi mengolah (elaborasi) dan memproses secara mendalam suatu species supaya mampu menentukan dan mengarahkan intelek possibilis. Berkat proses inilah manusia bisa mengenal dengan benar.
Jadi, proses mengenal manusia bisa dirangkaikan sebagai berikut;
Intelek possibilis sejauh sebagai pengenal adalah potensi murni, yaitu suatu keterbuakaan total pada obyek. Saat diaktuskan oleh spesies intelligibilis, potensi itu menjadi aktus, yaitu mengenal. Mengingat obyek yang dikenal intelek bukanlah realitas apa adanya secara individual, tapi dalam realitas makna universal, maka intelek possibilis harus mengungkapkan arti tersebut. Realitas makna universal itulah konsep yang sesungguhnya, verbum mentis (ST Ia q.34,a.1; Quodibet. V.a.9).[6]

c.       Kebenaran
Kebenaran merupakan tema pokok dalam epistemologi. Kebenaran adalah tujuan utama orang dalam mencari pengetahuan. St. Thomas Aquinas sangat menghormati St. Agustinus sebagai gurunya. Sebagaimana sikap St. Agustinus tentang kebenaran, St. Thomas juga menjunjung tinggi kebenaran di atas segalanya. Dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhan dan kebenaran-Nya, untuk kebenaran manusia dan kebenaran barang-barang ciptaan lainnya. Oleh karena pengabdian diri secara total, St. Thomas sampai merasa jatuh cinta kepada kebenaran, Kebijaksanaan sejati, Sang Sabda (Logos), Hukum Abadi, Allah sendiri.
Untuk menjelaskan tentang keberadaan kebenaran pengetahuan atau kebenaran logis, St. Thomas bertitik tolak dari kebenaran ontologis. Kebenaran ontologis atau kebenaran ada terletak dalam kesesuaiannya dengan suatu ide ilahi, yaitu dalam ada yang harus ada, untuk merealisasikan secara penuh naturanya.[7] Secara ontologis intelek manusia masih terbatas dan belum mampu menangkap kesempurnaan dari segala sesuatu, tetapi hanya mampu mengasimilasikan diri padanya yaitu membuat dirinya mirip dengan sesuatu tersebut. Sehingga bisa didefenisikan bahwa kebenaran itu adalah kesesuaian antara akal dengan realitas (adaequatio intellectus ad rem). Tetapi anehnya, akal sendiri hanya memahami sasuatu hal secara sempurna tanpa mengetahui kesesuaian itu. Dia berada dalam kebenaran tetapi, tetapi belum tahu kebenaran. Mungkin ibarat manusia yang melakukan suatu kegiatan tanpa mengetahui satu nilai tertentu di balik kegiatannya tersebut. Untuk mngetahui kebenaran itu, akal harus kembali berefleksi tentang yang dipahami dan menyatakan bahwa hal tersebut memang berada demikian adanya. Dengan menyatakan hal tersebut maka muncullah sebuah keputusan, dimana tempat kebenaran bersemayam.
Untuk menentukan jenis keputusan yang mengandung kebenaran, St. Thomas kembali pada pengetahuan inderawi. Dalam pengetahuan manusia, indera adalah alat yang memampukan dia untuk berkontak dengan hal-hal di luarnya dan juga sebagai dasar yang membawanya masuk pada pengetahuan intelektual(pengetahuan tertinggi). Tanpa indera, manusia tidak akan tahu apa-apa yang berada di luar dirinya. Indera menyampaikan apa yang diperolehnya, yaitu obyek yang sesungguhnya, kemudian inteleklah memeriksa dan memutuskan. Apa yang ditangkap oleh indera tidak pernah keliru atau salah, kecuali alat indera tersebut mengalami gangguan atau kelainan.
Dari cara kerjanya, bisa dikatakan bahwa keputusan intelek dibatasi untuk mengatakan tentang sesuatu itu hadir atau ada. Keputusan intelek tentang kehadiran atau keberadaan sesuatu adalah infallibel, jika indera menawarkan/ menyampaikan kepada intelek suatu hal tanpa menjelaskan apa hakekatnya dan di mana hal tersebut berada. Kita kembali pada perkataan sebelumnya yang mengatakan; tangkapan indera manusia tidak bisa keliru sejauh tidak ada kelainan, Intelek bisa keliru karena adanya dorongan kehendak.
Dalam menentukan kebenaran, manusia sendiri sering mengalami atau melakukan kekeliruan. Ada dua contoh keputusan yang sering kurang bisa dibedakan dengan kebenaran itu sendiri. Pertama, jika keputusan diberikan tanpa kaitan antar term baik secara langsung dan tidak langsung, tapi hanya melihat keharusan dan kesempatan untuk menerima afirmasi lain, keputusan demikian didasarkan pada iman. Kedua, bila keputusan diberikan berdasar pada kemungkinan disebut opini. Sementara ketika tidak ada kejelasan mengenai hubungan antar term, keputusan tersebut diberikan atas dorongan kehendak (voluntas) dan saat itulah kekeliruan tersebut bisa terjadi. Namun bukan berarti bahwa kehendak merupakan sumber kekeliruan, tetapi keputusan yang keliru adalah salah satu dari sekian banyak pernyataan yang dilakukan atas dorongan kehendak yang muncul karena kurang adanya kejelasan intrinsik (hubungan antar term) dan kejelasan ekstrinsik (kejelasan keharusan dan kesempatan untuk menerima afirmasi yang lain).
Kita kembali pada apa yang ditekankan oleh St. Thomas mengenai putusan dan kebenaran. Kebenaran atau kepalsuan ditemukan hanya dalam putusan. Dengan demikian, kebenaran tercapai terutama hanya dalam dan melalui aktivitas putusan. Sebuah putusan dikatakan benar bila putusan tersebut cocok atau sesuai dengan realitas eksternal, yaitu saat intelek mengatakan sesuatu itu adalah seperti itu atau tidak.
Relevansi dengan  Kehidupan Zaman Sekarang

Usaha St. Thomas Aquinas dalam menjelaskan proses mencari sebuah kebanaran, sungguh luarbiasa. Saya rasa apa yang telah diajarkannya tidak berhenti sampai di situ saja (hanya sebagai teori), tetapi juga nyata dalam kehidupan manusia saat itu dan saat ini. Saya sendiri juga setuju dengan ajaran ini. Mengapa saya katakan demikian?
Alat indera memang sangat menentukan pandangan atau penilaian seseorang akan sesuatu yang ada di luar dirinya. Tanpa alat indera, manusia tidak akan bisa berdialog atau berkontak dengan apa yang ada di luar dirinya. Contohnya saja, bagaimana manusia bisa mengatakan bahwa langit yang berada di atasnya berwarna biru, jika dia tidak bisa melihat? Atau bagaimana dia bisa mengetahui bahwa udara itu dingin, jika indera peraba/perasanya tidak ada atau tidak berfungsi? Jadi, apa yang diajarkan oleh St. Thomas di atas sungguh sangat masuk akal.
Di zaman sekarang, manusia sering memutuskan atau menyimpulkan sesuatu tanpa melihat dan mendengar tentang sesuatu tersebut. Mereka mengambil keputusan hanya karena hal tersebut sudah merupakan sebuah keharusan, kebiasaan dan juga karena adanya sebuah keebutuhan. Menurut ajaran St. Thomas, itulah yang dikatakan dengan kekeliruan. Keputusan tersebut adalah keputusan yang salah atau keliru. Mereka tidak memperhatikan apakah keputusan yang diambil sesuai dengan yang sesungguhnya (realitas). Dalam hal ini, yang salah bukanlah alat indera tetapi akal budi, yang mengambil keputusan. Indera luar selalu menyampaikan apa yang ditangkapnya dan tanpa mengubah apapun tentang tangkapan tersebut. Tetapi karena manusia sudah didorong oleh sebuah kehendak tertentu, maka apa yang disampaikan oleh indera luar tidak diproses sama sekali. Itu berarti bahwa manusia tersebut tidak memandang realitas.
Ajaran St. Thomas yang mengatakan; tangkapan indera manusia tidak bisa keliru sejauh tidak ada kelainan, intelek bisa keliru karena adanya dorongan kehendak, sungguh sangat terbukti di zaman sekarang ini. Hal ini bisa kita lihat dalam masalah yang masih hangat di Negara kita, yakni korupsi. Megapa para pemimpin negara kita bisa korupsi? Bukannya mereka adalah wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasinya? Bukankah mereka sudah melihat kekurangan-kekurangan masyarakat? Tetapi mengapa mereka seolah-olah tidak pernah melihat hal itu?
Jawaban yang lebih tepat untuk semua pertanyaan tersebut adalah karena mereka sudah dikuasai oleh kehendak. Kehendak itulah yang membuat mereka keliru dan jauh dari realitas. Mata mereka tentu melihat masyarakat yang ada di sekitar mereka. Telinga mereka tentu mendengar jeritan atau keluhan masyarakat di sekitar mereka dan lain sebagainya dan itu semua benar. Alat indera mereka sudah bekerja secara baik dan menangkap apa yang ada dalam realitas tetapi indera tersebut sudah dibutakan oleh sebuah kehendak. Kehandak apa? Kehendak untuk segera mencukupi kebutuhan diri sendiri dan untuk bisa kaya mendadak.
Masih banyak lagi kegiatan di zaman sekarang ini yang saya rasa sebagai relevansi dari ajaran St. Thomas ini. Salah satu contoh yang sering kita temukan dalam dunia pendidikan adalah penelitian. Dalam penelitian, kemampuan indera sangat diutamakan. Sebelum mengadakan sebuah penelitian, orang tentu mempersiapkan alat inderanya dengan baik, mulai dari penglihatan, pendengarang, peraba dan alat indera lain. Untuk apa? Tidak lain adalah untuk menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan. Apa yang mereka simpulkan harus sesuai dengan realitas yang ada. Mereka juga harus lepas dari kehendak-kehendak lain yang tidak berhubungan dengan tujuan penelitian. Mereka harus konsentrasi penuh mengarahkan seluruh indera, hati dan pikiran mereka pada apa yang mereka teliti. Semua hal di atas menunjukkan betapa penting dan berharganya sebuah kebenaran. Semua orang pasti membutuhkan kebenaran, bukan kekeliruan. Kebenaran itu akan kita temukan menggunakan indera kita secara benar. Karena dengan indera yang baik, kita mengetahui.


[1] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 135.
[2] Ibid, hlm. 152-153.
[3] Bdk., Dominikus Saku, Problematika Pengetahuan & Kebenaran dalam De Veritate St. Thomas Aquinas, dalam Mengabdi Kebenaran, hlm. 29.
[4] Ibid, hlm. 35
[5] Phantasma adalah produk akhir dari aktivitas inderawi.
[6] Diktat Epistemologi, oleh Rm. Valent, CP, hlm. 35
[7] ST Ia, q.16,a.1&2.

BUDAYA TENUN IKAT DALAM MASYARAKAT SIKKA


BAB I
PENDAHULUAN  

A.    Latar Belakang
Sejak dahulu kala kebutuhan akan pangan atau pakaian telah menjadi sebuah kebutuhan yang diprioritaskan. Hal ini dikarenakan pakaian mempunyai manfaat bagi manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dimana saat cuaca dingin pakaian dapat menghangatkan tubuh, pakaian itu juga menunjukan kepribadian seseorang untuk dikatakan baik atau tidak, kesopansantunan.
Zaman dahulu dengan keterbatasan alat maupun bahan serta tingkat sumber daya manusia yang rendah, manusia membentuk sebuah pakaian dari kulit kayu. Karena merasa kurang nyaman mengenakan pakaian dari kulit kayu, pasalnya pakaian dari kulit kayu ini dapat menimbulkan gatal dan merusak kulit maka nenek moyang kala itu mulai mencari alternatif lain yaitu membuat pakain dari bahan dasar kapas. Sehingga sejak saat itu muncullah pakaian dari tenun ikat dari berbagai wilayah.
Secara historis nama, kampung Sikka merupakan asal-muasal nama kabupaten Sikka, ibukota Maumere. Bagi masyarakat asli dan orang-orang yang sering berkunjung, mungkin tidak ada yang terkesan luar biasa, semuanya biasa-biasa saja. Namun bagi yang baru berkunjung, sekurang-kurangnya ada sedikit “oleh-oleh” yang bisa dibawa pulang dari kampung yang notabene hingga sekarang masih menyimpan makna dan catatan sejarah itu. Tak dapat dipungkiri,  salah satu bentuk ‘peninggalan’ sejarah dan para leluhur terdahulu yang menjadi “warisan” turun-temurun di kampung Sikka adalah tradisi tenun-menenun. Dari jenis pekerjaan, jelas tradisi ini lebih melekat dengan bidang karya kaum perempuan dan menjadi salah satu kekhasan daerah Sikka yang tetap dipertahankan hingga sekarang.
Adalah raja Don Aleksius Alesu Ximenes Da Silva, yang akrab disapa “Mo’ang Lesu” sebagai perintis tradisi tenun-menenum di kampung Sikka sejak tahun 1607. Sebagai salah satu ungkapan rasa terima kasih atas jasanya, hingga kini kaum ibu selalu “mengabadikan” motif Rempe Sikka Tope pada salah satu jenis tenunan mereka karena motif tersebut merupakan salah satu motif kesukaan Mo’ang Lesu.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    Kerajinan Tenun
Tenun merupakan salah satu seni budaya kain tradisional lndonesia yang diproduksi di berbagai wilayah di seluruh Nusantara. Tenun memiliki makna, nilai sejarah, dan teknik yang tinggi dari segi warna, motif, dan jenis bahan serta benang yang digunakan dan tiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Tenun sebagai salah satu warisan budaya tinggi (heritage) merupakan kebanggaan bangsa Indonesia, dan mencerminkan jati diri bangsa. Oleh sebab itu, tenun baik dari segi teknik produksi, desain dan produk yang dihasilkan harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya, serta dimasyarakatkan kembali penggunaannya.
            Pada umumnya kabupaten Sikka merupakan daerah pengarajin tenun ikat. Dalam hal ini desa Sikka menjadi sentra perajin tenun Sikka. Keistimewaan kain tenun di wilayah ini selalu menggunakan warna gelap: hitam, coklat, biru, dan biru-hitam ditambah hiasan sulur biru.
Ada berbagai motif dihasilkan dari Sikka. Motif okukirei diciptakan berdasarkan cerita nenek moyang bahwa sub-etnis Sikka dahulu adalah pelaut ulung. Walhasil, cukup mudah mencirikan kain tenun ikat jenis ini, selalu ada figur nelayan, sampan, perahu, udang, atau kepiting.
Ada satu motif yang sangat indah, yakni motif mawarani. Terdapat corak bunga mawar. Menurut cerita lisan turun-temurun, motif ini merupakan kain khas yang hanya dikenakan putri-putri Kerajaan Si
kka. Di jaman kini, kabarnya motif mawarani paling digemari pembeli kaum perempuan. Untuk membuat selembar kain tenun ikat dengan motif paling sederhana memerlukan waktu paling tidak 1 bulan.
2.2    Proses Kerjanya
Diawali dengan memisahkan kapas dari biji, lalu digulung menjadi gulungan kapas. Setelah itu baru dipintal menjadi benang. Saat memintal tidak boleh terputus sama sekali, sehingga hasil sebuah tenun ikat terkesan indah.
Proses selanjutnya, benang tersebut ditata di atas kayu yang ditempeli paku. Lalu diikat dengan daun gebang (mirip daun pandan). Setelah motif selesai dibuat, barulah proses menenun dimulai. Pada proses terakhir ini, setidaknya memakan waktu hingga 2 minggu.
Kain tenun ikat Sikka yang asli selalu menggunakan pewarna alami seperti daun serta akar mengkudu (warna merah), atau daun nira untuk memunculkan warna biru. Pewarnaan dilakukan berulang-ulang guna menghasilkan tenun ikat Sikka yang berwarna khas.

Pembuatan  kain tenun ikat memang harus dengan penuh kesabaran dan cinta, karena hal ini menjadi bukti betapa warisan leluhur masih, dan harus tetap dijaga selamanya.
2.3. Bahan, Alat, dan Perlengkapan  Dasar Pembuatan Kain Tenun Ikat
         Pembuatan kain tidak terlepas dari bahan baku yang digunakan. Bahan utama kain adalah serat. Pada zaman purba,masyarakat menggunakan serat kayu, untuk memperoleh serat menggunakan akar beringin. Karena perkembangannya menggunakan serat kapas,kapas ditanam di perkebunan atau di pekarangan. Setelah ditanam dan dirawat sambil menunggu sampai berbuah. Sesetelah itu dipetik lalu dijemur sampai kering. Setelah itu kupas,dipijat dan terakhir dibersihkan kapas harus dijemur agar mudah berkembang sehingga mudah dipisahkan bijinya . setelah kapas dijemur kapas dipisahkan dari bijinya dengan menggunakan alat yang disebut KEHO. Alat ini dipergunakan sampai batas 1970 an. Massa sekarang sudah punah lantaran orang menggunakan busur penghapus atau WETING. Kini kapas yang sudah halus siap dipintal.
Masyarakat menggunakan dua cara pemintalan yaitu
Ø  menggunakan puter atau peto kapas
Ø   menggunakan kincir pemintal benang atau jata kapa .
Alat ini terbuat dari kayu . setelah dipintal benang digulung dalam bentuk gumpalan atau bola dengan alat yang disebut REONG . benang yang berbentuk gumpalan-gumpalan direntangkan lagi pada alat yang disebut PLAPAN. Benang yangsudah direntangkan diikat menggunakan  tebuk untuk dibuatkan motif-motif.setelah diikat,benang dicelup sesuai selera. Lalu dijemur sampai kering dan dibuka  ikatan tebuknya setelah itu DI GAIN. Sesudah di gain benang tersebut dicelup kedalam air yang sudah tercampur biji asam atau kanji. Benang kemudian dijemur hingga kering dan dimasukan antara dua plapan lalu digoang sesuai warna sarung yang kemudian dirakit untuk memisahkan lirang atas dan bawah dengan benang khusus yang disebut benang perakit atau HAWEN setelah itu benang siap ditenun. 
Beberapa alat yang digunakan dalam membuat benang antara lain:
v  Keho         : alat untuk memisahkan biji kapas dan serat-serat.
v  Weting      : alat untuk menyamak serat kapas hasil proses dari alat keho agar menjadi halus. Alat ini dibuat dari bilahan-bilahan bambu yang diiris kemudian di beri tali menyerupai busur.alat kedua adalah ranting bambu yang bercabang yang digunakan sebagai penyentil atau pemetik tali busur.
v  Dasa          : alat untuk memintal kapas  menjadi benang. Alat ini digunakan terbuat dari balok kayu.
v  Reong        : alat untuk menggulung benang
v  Laen          : alat untuk menguraikan benang. Alat ini terbuat terbuat dari sepotong kayu yang agak panjang dari pada ujung –ujungnya diberi berpalang yang agak pendek dan bentuknya menyerupai I besar
v  Seler          : alat yang digunakan untukn menguraikan benang –benang agar digulung kembali dalam gumpalan –gumpalan. Alat ini terdiri atas potongan- potongan kayu yang dibuat dalam bentuk segu empat`atau segi enam
v  Papan        : alat untuk merentangkan kembali benang – benang yang berbentuk gumpalan – gumpalan untuk dibuatkan motif – motif alat ini berbentuk segi empat bahannya terbuat dari kayu dan juga bambu
v  Ai ler         :  alat yang diletakan pada pinggang penenun dan diikat pada kayu
v  Pine           :  alat yang digunakan sebagai pemegang benang –benang pada waktu ditenun.
v  Ai gemer   :  alat yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk menjepiit sarrung
v  Ai tuan      :  alat untuk merentangkan benang tenunan,alat ini terbuat dari kayu.
v  Tu’un          :  alat tempat penenunmenyandarkan kaki pada saat menenun
v  Pati            :  alat tenun untuk merapatkan benang pakan (lodon) . alat ini terbuat dari kayu yang keras .
v  Ekur          : alat untuk mengatur barang “lungsi” (GERAN).EKUR terbuat dari belahan pinang,bentuknya sebesar jari kelingking.
v  Bolen         : alat untuk mengatur bentuk LUNGSI yang biasanya terbuat dari satu ruas bambu bulu dan menjadi tempat membulatkan benang –benang
v  Sipe           : alat untuk mengatur posisi benang sehingga benang – benang tersebut terbagi atas dua jalur yaitu jalur atas dan bawah. Alat ini terbuat dari irisan atau bilah pelepah enau dan jumlahnya dua buah.
v  Legun        : alat yang terdiri atas setengah ruas bambu buluh tempat dimasukan gulungan benang tenunan “ lodon “ atau “pakan”
v  Tunger       : belahan batang pinang / bambu yang berguna untuk menahan tuun.

2.4.  Ragam Hias /Motif Kain Tenun Ikat
ü  Sejarah Ragam Hias Tenun Ikat
Motif adalah  ungkapan ide setiap orang yang mengerjakanya motif pada masing –masing daerah  pada dasarnya diambil berdasarkan suatu kisah atau kejadian menggambarkan kejadian para leluhur jaman dahulu. Misalnya motif  burung dan ular, kalajengking kemudian berkembang menjadi motif ragam hias, misalnya bela ketupat dan bunga.
Corak Ragam Hias Tenun Ikat antara lain :
§  Hura Inang atau motif induk
§  Buen atau motif kecil yang mengapiti Hura Inang
§  Lorang atau tengah yang terdapat diantara Buen.
 
Biasanya menggunakan dua warna, warna dasar tetap menjadi ikatan yang pertama, warna dasar tiga ragam hias biasanya berwarna merah bur yakni campuran warna merah dan coklat, selain warna merah dan coklat ditambah lagi warna hitam.

Fungsi Kain Tenun Ikat
-          Fungsi Sosial dan Budaya
Menggambarkan kekhasan budaya setempat, Menjadi bahan seremoni (dalam upacara kebudayaan) misalnya adat kawin dan penyerahan hak.
-          Fungsi Ekonomi
Misalkan Sarung dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup

2.5. Nilai Hidup
Menenun, menenun dan terus menenun, sudah seperti ‘falsafah’ hidup bagi kaum perempuan di  kampung Sikka. Tidak sedikit hasil tenunan dari karya tangan mereka yang dengan tekun mengikat benang, sabar merangkai motif, serta terampil dalam menenun. Sesungguhnya, ibu-ibu penenun ini, tidak hanya menenun selembar kain dengan nilai jual secara ekonomis, tetapi mereka juga merangkai dan menenun motif sejarah, budaya, nilai-nilai hidup, identitas kampung, pesan moral dan sosial, serta kekhasan mereka sebagai perempuan; kelembutan, kesabaran, rasa memiliki dan berbagi. Menenun “warisan” leluhur, agar generasi sekarang dan yang akan datang tidak lupa dengan warna budaya sendiri  
BAB III
KESIMPULAN

Dari proses pengerjaan sampai pada hasilnya membutuhkan alat yang beraneka ragam. Keragaman alat ini dipadukan menjadi satu sehingga membentuk satu kesatuan. Selama proses pembuatan kain tenun dibutuhkan kerjasama dari berbagai orang atau kelompok. Dengan demikian, tenun ikat dapat menyatukan berbagai orang atau kelompok sesuai karakter mereka masing – masing. Untuk mencapai sebuah hasil tenun yang baik dibutuhkan kekompakan, ketabahan, dan keuletan. Hasil dari tenun ikat dipakai dalam berbagai bentuk acara seperti perkawinan dan acara – acara adat lainnya. Dengan demikian kain tenun terbukti dapat mengikat dan memperkuat persaudaraan serta tali kekeluargaan dalam masyarakat.

Oleh karena itu, tenun ikat masuk dalam bagian pancasila yakni dalam sila ketiga, “Persatuan Indonesia”.





MAKALAH SEJARAH FILSAFAT YUNANI KUNO


I.            PENDAHULUAN
Dalam membicarakan tentang karya dan tulisan dari Plato, kita tentu akan bergandengan dengan seorang ahli yang menjadi ilham untuk setiap tulisan dan karya Plato itu sendiri.
Dari kedua tokoh ini, Sokrates merupakan seorang tokoh yang sangat kontroversial. Ada yang mengatakan dan menganggap bahwa ia adalah seorang filsuf besar yang pernah muncul di dalam sejarah, namun ada juga yang beranggapan bahwa ia sama sekali bukanlah seorang filsuf meskipun ia banyak mempengaruhi pemikiran – pemikiran filosofis. Di samping itu, ia tidak menulis apa – apa, sehingga sulit sekali untuk kita menentukan pemikirannya. Informasi tentang tokoh ini, haruslah dicari dalam sumber – sumber lain yang dapat memberikan kesaksian tentangnya. Salah satu tokoh yang dapat dijadikan sebagai sumber adalah Plato. Ia sejak kecil mengenal Sokrates dan ia juga adalah murid dari Sokrates, yang juga adalah penulis dialog – dialog yang mana sekarang akan diuraikan oleh penulis dalam uraian selanjutnya. Di dalam paper ini, penulis akan membahas tentang salah satu karya Plato yang diilhami oleh Sokrates yang dianggap oleh Plato sebagai seorang filsuf istimewa yang tak henti – hentinya mencari kebenaran, karena ia berkeyakinan bahwa hanya pengetahuan tentang “yang baik” dapat mengantar manusia kepada kebahagiaan.
Dalam dialog yang berjudul Lakhes ini mengisahkan masa muda Plato. Dalam dialog ini juga akan disebutkan beberapa peserta beserta kutipan – kutipan percakapan mereka, sehingga dapat membuat kita semakin jelas dalam mengenal secara mendalam apa yang mereka bicarakan.

II.            PEMBAHASAN

Dialog  Lakhes tidak memberikan informasi yang detail yang dapat membantu untuk memastikan tempat dimana perbincangan itu berlangsung. Dalam konteks dialog mungkin terjadi pada saat dilaksanakan pertunjukkan, karena konteks dialog menunjukkan bahwa Sokrates tidak menghadiri dan menyaksikan pertunjukkan.

Keutuhan teks Lakhes melalui Ergon – logos menjelaskan bahwa kedua bagian ini dijelaskan secara terpisah dan tidak bisa disatukan. Karena jika ada kesatuan dalam teks Lakhes maka hal itu bisa ditemukan jika dikaitkan dengan dialog – dialog Platon yang ditulis selama ia masih muda yang bertemakan keutamaan.
Dalam bagian pertama dari teks Lakhes yang tidak ditemukan dalam dialog – dialog masa mudanya, hanyalah merupakan introduksi umum yang berbicara tentang keutamaan – keutamaan partikular.
Kesatuan teks Lakhes yang berbicara tentang pendidikan dan keutamaan keberanian meninggalkan problem. Ada banyak kemungkinan dalam penafsiran yang masuk akal dalam memahaminya.
Dalam dialog itu terdapat banyak perdebatan yaitu oposisi Ergon dan logos. Dalam dialog itu juga terdapat dua tokoh yang mewakili dua posisi yang berbeda. Lakhes menjadi wakil dari Ergon[1] sementara Nikias adalah wakil dari Logos[2]. Lakhes mengutamakan bukti nyata dan tindakan efektif yang bisa menunjukkan bahwa seorang pemberani, maka dalam definisi tentang keberanian ini Lakhes lebih menekankan soal keteguhan dan ketabahan jiwa. Dan Lakhes justru mencurigai logos, yang memang bukan titik kekuatannya[3]. Ada alasan yang membuat Lakhes tidak mempercayai argumen Nikias adalah kecondongan Lakhes yang lebih percaya kepada ergon daripada logos. Meski begitu, kita juga melihat bahwa Lakhes pun terbuka dan masih bersedia mendengarkan orang yang ia anggap logos dan ergonnya konsisten, misalnya Sokrates. Oleh karena itu, Lakhes juga mengambil kesimpulan bahwa Nikias itu omong kosong, karena itu Lakhes memberikan contoh yakni para dokter[4]. Namun Nikias tetap mempertahankan argumennya[5] dengan tegas.
Bila melihat titiktolak dari dialog Lakhes itu, konflik logos – ergon tidak terpecahkan dalam figur Lakhes. Namun, bagi Nikias dalam suatu dialog itu, konflik logos – ergon bisa dipahami jika menggunakan suatu data – data historis di luar yang sampaikan dan dipahami oleh Lakhes. Dalam dialognya terlihat dengan jelas bahwa figur Nikias tetap mengutamakan argumennya yakni logos. Alasan dari Nikias tetap mempertahankan argumennya adalah setelah mendengar diskusi dari Sokrates dengan para sofis yaitu yang bernama Damon, sehingga ia menggunakan cara prodikos dalam membuat pembedaan istilah. Dari data – data diatas, maka Nikias menjelaskan bahwa keberanian cenderung intelektualitas. Dan konflik logos – ergon dalam diri Nikias bisa lebih jelas digunakan data – data historis, ketika menjadi seorang komandan ekspedisi militer ke Sisilia. Ketika pasukannya terjepit dan membutuhkan keputusan yang cepat dan tepat, Nikias justru mempercayakan keputusan yang penting itu kepada para ahli nujumnya. Maka dari data ini, Lakhes berkesimpulan bahwa Nikias bukan seorang yang pemberani. Menurutnya, ketegangan logos – ergon dalam diri Nikias tak bersesuaian, maksudnya tingkah laku Nikias setelah disanggah Sokrates[6] sangat tidak sesuai dengan kata – kata yang diucapkan Nikias sebelumnya, yang menyatakan bahwa ia siap diperiksa oleh Sokrates. Pada kenyataannya Nikias menyangkal dan tidak mau menerima fakta dari pendapatnya yang disanggah oleh Sokrates.
Dalam perjalanan Lakhes memuji – muji tindakan heroik Sokrates dalam pertempuran di Delion[7]. Kesaksian itu diperteguh dengan kesaksian lain yang berasal dari Alkibiades yang memuji Sokrates atas keberaniannya (andreia), kebijaksanaannya (phronesis), dan keteguhannya (karteria). Dalam hal ini Sokrates dianggap melampaui Lakhes soal kegagahberanian di medan pertempuran. Nikias juga memuji kemampuan intelektual Sokrates. Bukan hanya keberanian Sokrates di medan pertempuran, namun ia membuktikan juga bahwa dirinya yang “teguh dan tabah” untuk tidak meninggalkan ajang diskusi, dan Sokrates juga lebih tajam dalam diskusi, sehingga dengan cepat ia melihat kelemahan – kelemahan argumentasi intelektualitas Nikias. Oleh karena soal kehebatan menggabungkan logos – ergon maka tidak lupa dengan keteguhan jiwa dan cara berpikir yang tetap jernih dari seorang Sokrates ketika mesti menghadapi putusan hukuman mati yang ditimpakan kepadanya secara tidak adil. Di depan resiko kematiannya yang tidak adil, ia membuktikan dirinya tetap bisa jernih dan teguh hati dalam membedakan apa yang benar – benar harus ditakuti, yaitu ketidakadilan.dan apa yang tidak perlu ditakuti adalah kematian itu sendiri.
Dalam dialog Lakhes ini juga tidak menemukan sebuah kepastian atau kesimpulan karena setiap tokoh mempertahankan argumennya masing – masing. Salah satu yang agak membedakan Lakhes dari Nikias adalah kecenderungan Lakhes untuk disetir oleh hasrat kemenangan. Sikap ini yang seharusnya dipertimbangkan ketika Lakhes berbicara dengan tajam terhadap Nikias. Meski nampak kasar dan mengikuti “ hasrat kemenangan ” namun dalam akhir dialog, Lakhes tetap mengakui dan menerima  fakta bahwa ia berada dalam ketidaktahuan.
Sebaliknya dengan perilaku Nikias. Ia tidak mampu menyangga fakta bahwa pendapat – pendapatnya tersanggah maka dengan sombong ia meninggalkan diskusi sambil menyatakan bahwa pemecahan untuk kesulitan – kesulitannya saat diskusi akan ditemukan bila ia bertemu dengan teman – temannya. Nikias juga mengatakan bahwa Lakheslah dan bukan dirinya yang perlu secepatnya diajari oleh Damon. Berbeda dengan Lakhes yang bersedia menerima ketidaktahuannya dan Nikias adalah figur yang merasa puas dengan dirinya sendiri dan merasa lebih tahu dari yang senyatanya. Meski secara intelektual Nikias tampak lebih jauh berbakat daripada Lakhes.
Berkebalikan dengan Lakhes yang marah pada diri sendiri, karena merasa telah mempercayai sesuatu yang ternyata tidak ia ketahui,dan inilah yang membuat Lakhes jauh lebih punya kesempatan untuk belajar dan berkembang. Dalam hal ini Lakhes lebih ditunjukkan sebagai orang lapangan yang kasar dan anti intelektual sedangkan Nikias sebagai figur intelektual. Lakhes memang manusia yang ergon, namun ia juga merupakan orang yang pertama mengenali kualitas intelektual.
Nikias memang sangat canggih dalam berargumentasi, namun ia melakukannya dengan bersembunyi di balik rujukan pendapat – pendapat orang lain[8]. Ketika berbicara tentang keberanian, Nikias merujuk pada teori yang sudah dikembangkan oleh Sokrates. Namun setelah Sokrates sendiri mengemukakan keberatan – keberatan atasnya, Nikias tidak mampu memberikan jawabanyang memuaskan untuk Sokrates. Kemudian, saat Nikias membuat pembeda - bedaan antara “ keberanian ” dan “ketidaktakutan ”, ia juga hanya mengikuti pemikiran orang lain, sehingga ketika semua definisinya tersanggah, maka untuk menghindari kebuntuan ia berkilah bahwa nanti ia akan berbicara dengan Damon, tentu ia akan mendapatkan jawaban darinya. Oleh sebab itu, meski tampaknya intelektualis. Nikias sebenarnya tidak pernah memiliki pengetahuan secara personal. Ia hanya mengatakan pendapat orang lain tanpa mencernanya sendiri, sedemikian sehingga ketika disanggah, ia tidak dapat menjawabnya. Ditambah lagi dengan perilaku yang selalu puas diri, Nikias jelas jauh dari sikap rendah hati yang menjadi ciri nyata Lakhes atau siapa pun yang memiliki hasrat otentik.


III.            RELEVANSI
Keberanian seseorang dapat di lihat dari cara ia bergaul dan bukan hanya sebagai sebuah ungkapan belaka tetapi lebih – lebih pada tindakan nyata dalan kehidupan. Apalagi menjadi seorang yang berani bukan saja dalam hal mengadu fisik namun juga dalam hal berargumen dan berdebat demi mencapai sebuah tujuan, kepastian dan kebenaran. Maka dari dialog ini kita diajak agar mampu dan berani dalam menyikapi setiap persoalan maupun hal – hal yang membutuhkan pembuktian.

IV.            KESIMPULAN

Dialog Lakhes lebih menekankan pada keutamaan keberanian. Dalam dialog ini tidak hanya nilai keberanian yang ditekankan namun nilai pendidikan juga ditekankan. Jadi keseluruhan dialog ini tidak ada benang merah yang logis untuk menyatakan bahwa Lakhes adalah dialog yang khusus membicarakan keberanian.














[1] Ergon(tindakan nyata)
[2] Logos(kata, wacana, wicara, teori, pemikiran)
[3] Dalam dialog Lakhes kesulitan menangkap maksud dari Nikias yaitu “Aku rasa Nikias tidak rela untuk mengakui secara terbuka bahwa ia sedang omong kosong; ia mengelak kesana kemari untuk menyembunyikan kebingungannya.”
[4] Menurut Lakhes dokter dikatakan pemberani karena mereka yang tahu tentang hal – hal yang perlu di takuti.
[5] Menurutnya para dokter itu hanya tahu lebih banyak dalam soal penanganan orang – orang sakit, daripada sekedar mangatakan apa yang baik atau yang jelek bagi kesehatan. Oleh sebab itu, hanya itulah batas pengetahuan para dokter.
[6] Padahal kita tadi sudah menyatakan bahwa keberanian hanyalah satu di antara bagian – bagian keutamaan.
[7] Nama sebuah kota di wilayah Boeotia, disebelah utara Attika. Di kota Delion ini terjadi pertempuran antara tentara Athena melawan Boeotia.
[8] Menurutku, keberanian adalah ilmu tentang apa yang harus ditakuti atau apa yang harus dipercayai entah itu dalam peperangan atau dalam situasi – situasi lainnya.