Kamis, 07 November 2013

MAKALAH THOMAS AQUINAS


Pribadi St. Thomas Aquinas

Thomas Aquinas (1225-1274) adalah seorang imam Dominikan yang hidup pada puncak zaman skolastik (abad ke-12 dan ke-13). Thomas Aquinas atau Thomas dari Aquino (1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca, dekat Napels, Italia. Lahir dari sebuah keluarga bangsawan. Semula ia belajar di Napels, kemudian di Paris, menjadi murid Albertus Agung, lalu di Koln, dan kemudian di Paris lagi. Sejak tahun 1252 ia mengajar di Paris dan Italia.  Aquinas seorang ahli teologi Katolik dan filosof. Ia menerima gelar Doktor dalam teologi dari Universitas Paris dan mengajar di sana sampai tahun 1259. Kemudian selama 10 tahun ia mengajar di biara-biara Dominikan di sekitar Roma kemudian kembali ke Paris, mengajar dan menulis. Ia mempelajari karya-karya besar Aristoteles secara mendalam dan ikut serta dalam pelbagai perdebatan.   Ketika Thomas meninggal dunia pada usia 49 tahun (tanggal 7 Maret 1274), ia meninggalkan banyak karya tulisan.
Thomas Aquinas merupakan tokoh terpenting pada zaman itu. Ia berjasa dalam mempersatukan secara orisinil unsur-unsur pemikiran Agustinus, yang dipengaruhi kuat oleh filsafat neo-platonisme, dengan filsafat Aristoteles. Karya-karya Thomas Aquinas, terutama Summa Teologiae I-III, termasuk karangan-karangan terpenting dari seluruh kesusastraan kristiani. Pada tahun 1879, lewat sebuah ensiklik atau surat edaran resmi dari kepausan, ajaran Thomas (Thomisme) dinyatakan sebagai dasar bagi filsafat kristiani dan karenanya,, wajib diajarkan kepada semua sekolah filsafat dan teologi Katolik. Namun bukan berarti bahwa pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas hanya memberi impuls-impuls kepada para pemikir ajaran Katolik saja. Pengaruhnya luas dan menjebol batas-batas dinding intelektual Gereja.[1]

Karya-karya Thomas Aquinas[2]
1.      De ente et essential (Tentang “Pengada” dan Hakikat)
Tulisan ini merupakan uraian singkat tentang metafisika ‘ada’, yang mau  menyatakan apa yang dimaksud dengan kata ‘hakikat’ dan ‘pengada’ serta bagaimana hal itu dapat ditemukan dalam bergai jenis benda dan hubungannya dengan paham-paham logis, yakni ‘jenis’, ‘ciri’ dan ‘perbedaan’. Tulisan ini ada dari sekitar tahun 1250.
2.      Summa contra gentiles (Ikhtisar Melawan Orang-Orang Kafir)
Antara tahun 1260-1264. Karya filosofis Summa berarti uraian teratur mengenai berbagai tema dalam kesatuan yang sistematis. Kebenaran iman umat Katolik, melawan para pengajar sesat dari kalangan pengikut Aristoteles berbangsa Arab dan melawan para pengikut filsafat alam dari zaman Yunani kuno.
3.      Summa theologiae (Ikhtisar Teologi)
Summa teologi (antara tahun 1267-1273) merupakan Mahakarya Thomas Aquinas. Tulisan ini memuat tiga tema pokok, yakni Allah dan ciptaan, keteraturan dunia yang bersifat etis,  serta manusia dan keselamatan.
4.      Tentang Kekuasaan Politis
Traktat tentang misi Ilahi yang diemban oleh kerajaan, antara tahun 1265-1267.

Dalam pembahasan kali ini, Thomas Aquinas lebih banyak menggunakan Summa teologi untuk mecari dan mendefenisikan apa itu pengetahuan dan kebenaran.


PENGETAHUAN DAN KEBENARAN

Zaman skolastik adalah zaman di mana terjadi polusi kontroversi doktrinal antara berbagai paham atau temuan-temuan baru yang berpengaruh besar dalam lingkungan pendidikan saat itu. Banyak paham yang memunculkan pengertian-pengertian baru tentang pengetahuan manusia dan kebenarannya.
Beberapa contoh paham yang muncul pada zaman itu adalah paham Agustinisme yang mengacu kembali pada ajaran St. Agustinus, yakni menekankan kembali keunggulan kehendak atas intelek, terbentuknya pengetahuan tanpa interferensi awal obyek-obyek eksternal dan lain sebagainya.[3] Paham Agustinisme melawan paham Aristotelianisme. Masih banyak paham lain yang muncul ketika itu yang membuat manusia khususnya para pelajar mengalami kesulitan terutama dalam mencari makna atau pemahaman akan kebenaran.
Dari situasi tersebut di atas, muncullah St. Thomas Aquinas. Dia ingin meretas jalan baru demi perkembangan ilmu teologi dan filsafat dalam kehidupan kampus. St. Thomas menaruh perhatian khusus pada persoalan pengetahuan dan kebenaran. Ciri khas pengetahuan manusia terletak dalam prosedur logis yang harus ditempuh untuk mengerti realitas dengan lebih baik dan dengan itu mencapai kebenaran.[4] Pernyataan ini merupakan hasil karya St. Thomas yang disusun dalam karyanya yang terkenal, yaitu De Veritate.
Akal budi manusia adalah tatanan yang paling rendah dalam tatanan hirarki intelektual. Kemampuan akal budi manusia sangat terbatas dalam mengenal realitas. Pengenalan akan realitas akan mempermudah manusia untuk memperoleh kebenaran. St. Thomas lebih menerapkan konsep abstraksi Aristoteles dalam menjelaskan kekhasan pengetahuan manusia.
Untuk memahami kebenaran St. Thomas Aquinas, kita akan lebih dahulu mengerti atau memahami apa itu pengetahuan, intelek, dan pada akhirya sampai  pada kebenaran itu sendiri. Tiga hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebab untuk sampai pada pemahaman akan kebenaran, manusia harus lebih dahulu mengetahui tentang suatu hal. Dari pengetahuan itu akan muncul apa yang dinamakan dengan konsep, selanjutnya konsep ini akan diproses oleh indra dalam dan pada akhirnya kebenaran akan ditemukan.

a.       Pengetahuan
Pengetahuan manusia selalu bertitik-tolak dan bersumber dari data dunia inderawi. Dalam hal ini, St. Thomas merasa terpanggil untuk menjelaskan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera manusia, yakni hal-hal yang riil. Pertanyaan mendasar dan yang sangat penting untuk dikemukakan adalah bagaimana adanya hal/barang-barang riil dan apa syarat dasar adanya.
Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa pengetahuan manusia bersumber dari data inderawi atau yang disebut dengan pengalaman. Maka manusia harus menggunakan alat-alat indera (panca indera) dengan baik. Sehingga bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu adalah karya dari manusia sendiri yaitu melalui daya tangkap indera. Daya-daya penginderaan (tenaga untuk melihat, mendengar) ditentukan oleh benda-benda yang ada di luar. Supaya indera bisa bekerja dengan baik, manusia perlu melibatkan jiwa dan raga, bukan hanya kegiatan dari jiwa yang menggunakan badan, seperti yang disampaikan oleh St. Agustinus yang juga diteruskan oleh Rene Deskartes.
 Di atas keterlibatan bersama jiwa dan badan ini, Thomas Aquinas mendasarkan teorinya tentang kesatuan substansial jiwa dan badan. Dalam diri manusia, jiwa lebih bersifat pasif, baik dalam pengenalan inderawi maupun pengenalan akali. Indra-indra dari kodratnya terarah untuk menangkap yang partikular. Sehingga phantasma[5] yang tersimpan dalam imajinasi merupakan phantasma dari objek-objek partikular. Apa yang diperoleh oleh indera luar akan mengalir kemudian diatur dan diproses oleh indera dalam hingga menjadi phantasma. Tanpa phantasma tidak ada konsep, keputusan atau hipotesis. Tetapi antara phantasma dengan konsep memiliki perbedaan fungsi. Phantasma berfungsi untuk mengungkapkan hal atau benda-benda yang partikular sedangkan konsep mengungkapkan sesuatu yang umum, universal dan bukan hal yang tertentu. Konsep tidak dapat diungkapkan oleh suatu objek badani, tetapi memerlukan suatu kemampuan pengenalan spiritual, yaitu intelek (ST 1a, q.84,a. 6).

b.      Intelek
Intelek manusia tidak mengandung ide-ide bawaan tetapi sungguh untuk menerima konsep-konsep. Dia (intelek) tidak berada dalam suatu aktivitas mengenal secara penuh dan sempurna tetapi memperolehnya dengan berproses dari potensi ke aktus. Proses pengenalan yang dilakukan oleh intelek tidak bisa dipisahkan dari data-data inderawi. Tanpa tangkapan indera, intelek juga tidak akan bisa bekerja atau berproses.
Dilihat dari fungsinya, intelek manusia dibedakan menjadi dua, yaitu intellectus possibilis dan intellectus agen. Dikatakan berbeda namun sebenarnya, kedua intellectus ini bekerja saling melengkapi. Intellectus possibilis adalah bagian intellectus yang memiliki potensi untuk mengenal. Intellectus ini sering juga disebut sebagai kemampuan intelektual dan spiritual yang sesungguhnya. Intellectus agen bekerja untuk menerangi proses abstraksi. Yang dimaksud dengan abstraksi adalah aktivitas menerangi dan memproses species dalam phantasma. Lebih sederhananya adalah karena intelektus possibilis itu harus diaktualkan, maka perlulah intelek tersebut diarahkan dan ditentukan untuk mengetahui sesuatu, yaitu spesies. Pengetahuan ini masih bersifat universal sementara dalam kenyataan yang ada adalah individu, maka perlulah spesies tersebut diproses oleh suatu aktivitas menerangi inteligibilitas phantasma. Aktivitas inilah yang disebut dengan abstraksi.
Proses  abstraksi tidak memerlukan iluminasi atau intervensi ilahi dan intelektus agen bukanlah intelektus ilahi melainkan kemampuan khas dan imanen pada setiap jiwa. Setiap orang memiliki kemampuan khas ini dan akan lebih baik jika manusia tersebut mampu mengembangkannya. Intelek agen bukanlah mengetahui tetapi mengolah (elaborasi) dan memproses secara mendalam suatu species supaya mampu menentukan dan mengarahkan intelek possibilis. Berkat proses inilah manusia bisa mengenal dengan benar.
Jadi, proses mengenal manusia bisa dirangkaikan sebagai berikut;
Intelek possibilis sejauh sebagai pengenal adalah potensi murni, yaitu suatu keterbuakaan total pada obyek. Saat diaktuskan oleh spesies intelligibilis, potensi itu menjadi aktus, yaitu mengenal. Mengingat obyek yang dikenal intelek bukanlah realitas apa adanya secara individual, tapi dalam realitas makna universal, maka intelek possibilis harus mengungkapkan arti tersebut. Realitas makna universal itulah konsep yang sesungguhnya, verbum mentis (ST Ia q.34,a.1; Quodibet. V.a.9).[6]

c.       Kebenaran
Kebenaran merupakan tema pokok dalam epistemologi. Kebenaran adalah tujuan utama orang dalam mencari pengetahuan. St. Thomas Aquinas sangat menghormati St. Agustinus sebagai gurunya. Sebagaimana sikap St. Agustinus tentang kebenaran, St. Thomas juga menjunjung tinggi kebenaran di atas segalanya. Dia mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhan dan kebenaran-Nya, untuk kebenaran manusia dan kebenaran barang-barang ciptaan lainnya. Oleh karena pengabdian diri secara total, St. Thomas sampai merasa jatuh cinta kepada kebenaran, Kebijaksanaan sejati, Sang Sabda (Logos), Hukum Abadi, Allah sendiri.
Untuk menjelaskan tentang keberadaan kebenaran pengetahuan atau kebenaran logis, St. Thomas bertitik tolak dari kebenaran ontologis. Kebenaran ontologis atau kebenaran ada terletak dalam kesesuaiannya dengan suatu ide ilahi, yaitu dalam ada yang harus ada, untuk merealisasikan secara penuh naturanya.[7] Secara ontologis intelek manusia masih terbatas dan belum mampu menangkap kesempurnaan dari segala sesuatu, tetapi hanya mampu mengasimilasikan diri padanya yaitu membuat dirinya mirip dengan sesuatu tersebut. Sehingga bisa didefenisikan bahwa kebenaran itu adalah kesesuaian antara akal dengan realitas (adaequatio intellectus ad rem). Tetapi anehnya, akal sendiri hanya memahami sasuatu hal secara sempurna tanpa mengetahui kesesuaian itu. Dia berada dalam kebenaran tetapi, tetapi belum tahu kebenaran. Mungkin ibarat manusia yang melakukan suatu kegiatan tanpa mengetahui satu nilai tertentu di balik kegiatannya tersebut. Untuk mngetahui kebenaran itu, akal harus kembali berefleksi tentang yang dipahami dan menyatakan bahwa hal tersebut memang berada demikian adanya. Dengan menyatakan hal tersebut maka muncullah sebuah keputusan, dimana tempat kebenaran bersemayam.
Untuk menentukan jenis keputusan yang mengandung kebenaran, St. Thomas kembali pada pengetahuan inderawi. Dalam pengetahuan manusia, indera adalah alat yang memampukan dia untuk berkontak dengan hal-hal di luarnya dan juga sebagai dasar yang membawanya masuk pada pengetahuan intelektual(pengetahuan tertinggi). Tanpa indera, manusia tidak akan tahu apa-apa yang berada di luar dirinya. Indera menyampaikan apa yang diperolehnya, yaitu obyek yang sesungguhnya, kemudian inteleklah memeriksa dan memutuskan. Apa yang ditangkap oleh indera tidak pernah keliru atau salah, kecuali alat indera tersebut mengalami gangguan atau kelainan.
Dari cara kerjanya, bisa dikatakan bahwa keputusan intelek dibatasi untuk mengatakan tentang sesuatu itu hadir atau ada. Keputusan intelek tentang kehadiran atau keberadaan sesuatu adalah infallibel, jika indera menawarkan/ menyampaikan kepada intelek suatu hal tanpa menjelaskan apa hakekatnya dan di mana hal tersebut berada. Kita kembali pada perkataan sebelumnya yang mengatakan; tangkapan indera manusia tidak bisa keliru sejauh tidak ada kelainan, Intelek bisa keliru karena adanya dorongan kehendak.
Dalam menentukan kebenaran, manusia sendiri sering mengalami atau melakukan kekeliruan. Ada dua contoh keputusan yang sering kurang bisa dibedakan dengan kebenaran itu sendiri. Pertama, jika keputusan diberikan tanpa kaitan antar term baik secara langsung dan tidak langsung, tapi hanya melihat keharusan dan kesempatan untuk menerima afirmasi lain, keputusan demikian didasarkan pada iman. Kedua, bila keputusan diberikan berdasar pada kemungkinan disebut opini. Sementara ketika tidak ada kejelasan mengenai hubungan antar term, keputusan tersebut diberikan atas dorongan kehendak (voluntas) dan saat itulah kekeliruan tersebut bisa terjadi. Namun bukan berarti bahwa kehendak merupakan sumber kekeliruan, tetapi keputusan yang keliru adalah salah satu dari sekian banyak pernyataan yang dilakukan atas dorongan kehendak yang muncul karena kurang adanya kejelasan intrinsik (hubungan antar term) dan kejelasan ekstrinsik (kejelasan keharusan dan kesempatan untuk menerima afirmasi yang lain).
Kita kembali pada apa yang ditekankan oleh St. Thomas mengenai putusan dan kebenaran. Kebenaran atau kepalsuan ditemukan hanya dalam putusan. Dengan demikian, kebenaran tercapai terutama hanya dalam dan melalui aktivitas putusan. Sebuah putusan dikatakan benar bila putusan tersebut cocok atau sesuai dengan realitas eksternal, yaitu saat intelek mengatakan sesuatu itu adalah seperti itu atau tidak.
Relevansi dengan  Kehidupan Zaman Sekarang

Usaha St. Thomas Aquinas dalam menjelaskan proses mencari sebuah kebanaran, sungguh luarbiasa. Saya rasa apa yang telah diajarkannya tidak berhenti sampai di situ saja (hanya sebagai teori), tetapi juga nyata dalam kehidupan manusia saat itu dan saat ini. Saya sendiri juga setuju dengan ajaran ini. Mengapa saya katakan demikian?
Alat indera memang sangat menentukan pandangan atau penilaian seseorang akan sesuatu yang ada di luar dirinya. Tanpa alat indera, manusia tidak akan bisa berdialog atau berkontak dengan apa yang ada di luar dirinya. Contohnya saja, bagaimana manusia bisa mengatakan bahwa langit yang berada di atasnya berwarna biru, jika dia tidak bisa melihat? Atau bagaimana dia bisa mengetahui bahwa udara itu dingin, jika indera peraba/perasanya tidak ada atau tidak berfungsi? Jadi, apa yang diajarkan oleh St. Thomas di atas sungguh sangat masuk akal.
Di zaman sekarang, manusia sering memutuskan atau menyimpulkan sesuatu tanpa melihat dan mendengar tentang sesuatu tersebut. Mereka mengambil keputusan hanya karena hal tersebut sudah merupakan sebuah keharusan, kebiasaan dan juga karena adanya sebuah keebutuhan. Menurut ajaran St. Thomas, itulah yang dikatakan dengan kekeliruan. Keputusan tersebut adalah keputusan yang salah atau keliru. Mereka tidak memperhatikan apakah keputusan yang diambil sesuai dengan yang sesungguhnya (realitas). Dalam hal ini, yang salah bukanlah alat indera tetapi akal budi, yang mengambil keputusan. Indera luar selalu menyampaikan apa yang ditangkapnya dan tanpa mengubah apapun tentang tangkapan tersebut. Tetapi karena manusia sudah didorong oleh sebuah kehendak tertentu, maka apa yang disampaikan oleh indera luar tidak diproses sama sekali. Itu berarti bahwa manusia tersebut tidak memandang realitas.
Ajaran St. Thomas yang mengatakan; tangkapan indera manusia tidak bisa keliru sejauh tidak ada kelainan, intelek bisa keliru karena adanya dorongan kehendak, sungguh sangat terbukti di zaman sekarang ini. Hal ini bisa kita lihat dalam masalah yang masih hangat di Negara kita, yakni korupsi. Megapa para pemimpin negara kita bisa korupsi? Bukannya mereka adalah wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasinya? Bukankah mereka sudah melihat kekurangan-kekurangan masyarakat? Tetapi mengapa mereka seolah-olah tidak pernah melihat hal itu?
Jawaban yang lebih tepat untuk semua pertanyaan tersebut adalah karena mereka sudah dikuasai oleh kehendak. Kehendak itulah yang membuat mereka keliru dan jauh dari realitas. Mata mereka tentu melihat masyarakat yang ada di sekitar mereka. Telinga mereka tentu mendengar jeritan atau keluhan masyarakat di sekitar mereka dan lain sebagainya dan itu semua benar. Alat indera mereka sudah bekerja secara baik dan menangkap apa yang ada dalam realitas tetapi indera tersebut sudah dibutakan oleh sebuah kehendak. Kehandak apa? Kehendak untuk segera mencukupi kebutuhan diri sendiri dan untuk bisa kaya mendadak.
Masih banyak lagi kegiatan di zaman sekarang ini yang saya rasa sebagai relevansi dari ajaran St. Thomas ini. Salah satu contoh yang sering kita temukan dalam dunia pendidikan adalah penelitian. Dalam penelitian, kemampuan indera sangat diutamakan. Sebelum mengadakan sebuah penelitian, orang tentu mempersiapkan alat inderanya dengan baik, mulai dari penglihatan, pendengarang, peraba dan alat indera lain. Untuk apa? Tidak lain adalah untuk menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan. Apa yang mereka simpulkan harus sesuai dengan realitas yang ada. Mereka juga harus lepas dari kehendak-kehendak lain yang tidak berhubungan dengan tujuan penelitian. Mereka harus konsentrasi penuh mengarahkan seluruh indera, hati dan pikiran mereka pada apa yang mereka teliti. Semua hal di atas menunjukkan betapa penting dan berharganya sebuah kebenaran. Semua orang pasti membutuhkan kebenaran, bukan kekeliruan. Kebenaran itu akan kita temukan menggunakan indera kita secara benar. Karena dengan indera yang baik, kita mengetahui.


[1] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 135.
[2] Ibid, hlm. 152-153.
[3] Bdk., Dominikus Saku, Problematika Pengetahuan & Kebenaran dalam De Veritate St. Thomas Aquinas, dalam Mengabdi Kebenaran, hlm. 29.
[4] Ibid, hlm. 35
[5] Phantasma adalah produk akhir dari aktivitas inderawi.
[6] Diktat Epistemologi, oleh Rm. Valent, CP, hlm. 35
[7] ST Ia, q.16,a.1&2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar