Hidup manusia
sebagai karunia Allah harus dibela, dipelihara, dan dikembangkan dengan
cara-cara dan usaha-usaha yang wajar
|
A. Hidup manusia adalah karunia Allah
A.1. Sejak awal keberadaannya
Berkenaan dengan hidup manusia sebagai
karunia Allah, maka kita bersama akan melihatnya jauh ke depan dari awal
permulaan kehidupan manusia hingga kematiannya.
Awal keberadaan manusia yang dikehendaki
Tuhan
Kapan manusia mulai dikatakan ada
(hidup)? Persoalan kemudian: kapan manusia bernilai moral dan hukum? Ada suatu
problem untuk menentukan permulaan hidup manusia ini. Problem ini menjadi
diskusi yang cukup panjang lebih-lebih berkaitan dengan masalah pengguguran
(Aborsi). Orang-orang atau pihak-pihak terkait yang mendukung legalisasi
pengguguran menyebut sebagai salah satu alasan pendukung adalah hipotese yang
mengatakan bahwa setelah pembuahan, janin itu belum pribadi sepenuhnya, maka
juga belum mempunyai hak asasi untuk hidup sehingga dapat digugurkan bila tidak
dikehendaki adanya. Berikut ini berbagai hipotese tentang awal hidup manusia :
·
Penentuan
tentang awal kehidupan terkait dengan late animation (penyawaan tertunda) dan quickening (gerakan bayi). Menurut
aliran ini, janin hasil pembuahan tidak serta merta mempunyai nyawa (jiwa),
akan tetapi baru akan terjadi beberapa hari atau bulan sesudahnya. Oleh karena
masuknya nyawa (ensoulment) baru terjadi lama sesudah pembuahan (late
animation). Adanya nyawa (jiwa) yang masuk ke dalam janin ditandai
dengan adanya gerak bayi (quickening), sebab gerakan adalah
unsur dinamis dari nyawa yang bisa dideteksi dengan adanya gerak. Pendapat ini
berasal dari Biologi Aristotelian. Menurut Aristoteles, hidup manusia mempunyai
3 tahap perkembangan (vegetative, sensitive / hewani, dan rasional / intellective).
Bagi Aristoteles, nyawa baru masuk ke janin pada umur 40 hari untuk janin
laki-laki dan 90 hari untuk janin perempuan. Pemikiran ini kemudian diikuti
juga oleh Thomas Aquinas.
·
Pre-embrio berarti sebelum
embrio. Istilah pre-embrio ini dipakai untuk menamai janin sejak saat pembuahan
sampai berumur 14 hari. Dalam peristilahan pre-embrio inilah ditentukan kapan
awal kehidupan manusia.
Yang pertama, awal kehidupan
manusia dimulai sejak 14 hari sesudah
pembuahan. Sebelum hari ke-14 sesudah pembuahan, belum ada pribadi manusia
karena masih terdapat kemungkinan terjadi bayi kembar. Zigot
belum punya RNA
sendiri yang berfungsi sebagai life director, perkembangannya masih diatur oleh RNA dari sel telur. Ia hanya
mempunyai DNA atau informasi genetik yang diperlipatgandakan dengan pembelahan
diri. Dengan demikian, ia belum mempunyai individualitas .
Yang kedua, awal kehidupan
manusia dimulai sejak 6 atau 7 hari sesudah
pembuahan (sejak Nidasi). Sebelum
ada nidasi belum ada kehidupan manusia. Alasannya adalah :
·
50%-60%
sel telur yang sudah dibuahi tidak berhasil bernidasi. Maka tak mungkinlah
dikatakan bahwa sebagian besar pribadi manusia tak pernah mengalami hidup manusiawi.
·
Nidasi
merupakan peristiwa mutlak agar sel telur tersebut dapat berkembang. Sebelum
nidasi sel telur masih punya banyak kemungkinan. Baru pada saat nidasi, baru
bisa dibedakan antara sel masa yang kemudian berkembang menjadi placenta dan
sel diferensiasi yang selanjutnya menjadi janin.
·
Sebelum
nidasi kemungkinan akan terjadi anak kembar. Maka belum ada individu, karena
keunikan individu adalah sifat tak terbagi.
·
Sejak
nidasi, sel telur yang dibuahi berelasi dengan ibunya. Unsur relasi inilah yang
menjadi ciri khas setiap individu.
Kehidupan
manusia dimulai sejak pembuahan (fekundasi). Kromosom patron yang
terbentuk saat pembuahan sudah pasti akan berkembang menjadi manusia karena
didalamnya sudah terkandung informasi genetik dan pembawaan dasar manusia yang
akan terbentuk. Kromosom patron ini tak akan berubah secara mendasar walaupun ada
pengaruh dari luar setelah kelahiran. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
sejak pembuahan sudah terbentuk pribadi manusia.
Pandangan Kristiani Tentang Permulaan Hidup Manusia
Kuasa mengajar Gereja selalu
mengajarkan keyakinan bahwa sejak saat pembuahan sudah ada hidup manusia. Dasar
biblisnya adalah Kejadian 1:26-28.
Dokumen-dokumen yang menegaskannya adalah 1) GS 51: “Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan
mulai melestarikan hidup manusia kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara
yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan
cermat”. 2) Donum Vitae Bagian Pengantar
no. 5: “mulai dari saat pembuahan,
hidup seorang manusia haruslah dihormati secara absolut sebab manusia itu
satu-satunya ciptaan yang dikehendaki bagi dirinya sendiri dan jiwa rohaniahnya
diciptakan segera oleh Allah.” 3) Evangelium
Vitae membicarakan tentang etika
hidup manusia sejak awal mula keberadaannya sampai pada kematian naturalnya.
Gereja juga mengajarkan bahwa sejak saat selesainya proses pembuahan, janin
disebut persona. Donum Vitae 1,1: manusia harus dihormati sebagai pribadi (persona) sejak pertama kali
keberadaannya. Sejak ovum itu dibuahi, sebuah hidup barutelah dimulai yang bukan lagi hidup ayahnya atau ibunya.”
Oleh karena itu, sejak masa pembuahan, janin mulai mendapat perlindunga hukum
dan moral karena dia adalah persona. Masalah mengenai personalitas embrio
bukanlah pertama-tama persoalan biologi tetapi
lebih merupakan persoalan filsafat atau hukum. Tetapi dalam mengambil
suatu kesimpulan filosofis dibutuhkan data-data ilmiah dari para ahli biologi.
Secara lebih jelas Ajaran Gereja mengenai awal
keberadaan setiap manusia dapat dilihat dalam Declaratio de Abortu Procurato
(Konggregasi Ajaran Iman) art 12-13
Sejak sel telur
dibuahi, mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup ibu,
melainkan hidup manusia baru, yang berkembang secara mandiri. Ia tidak akan
menjadi manusia, kalau belum manusia pada saat ini. Genetika modern secara
mengagumkan meneguhkan perkara ini yang selalu jelas. Daripadanya jelas bahwa
sejak saat pertama, ada struktur tetap manusia, manusia individual yang sudah
dibekali dengan ciri khas yang tepat. Dengan pembuahan mulailah petualangan
hidup manusia, yang cikal bakal orangya membutuhkan waktu untuk berkembanng dan
bertindak. Penelitian embriologi menunjukkan indikasi berharga untuk
menyimpulkan dengan akalbudi bahwa kehadiran seorang personal sudah pada awal tampilnya kehidupan manusia. Berdasarkan
data-data biologis, penentuan awal kehidupan dijelaskan bahwa Identitas dan status ontologis embrio
manusia telah terbentuk sejak
selesainya pembuahan atau fertilisasi; karena fusion dua sel seks (gamet: sperm dan ovum) telah melahirkan
genom manusia baru yang tidak berbeda dengan embrio-fetus-bayi dikemudian hari.
Dalam level biologis, adanya hidup manusia harus didefenisikan dengan adanya
program-program genetis yang dibentuk dan ditentukan saat pembuahan.
Acuan pada
ajaran Gereja ini memberikan kriteria untuk pemecahan mendasar aneka masalah
yang timbul karena perkembangan ilmu biomedik:
a.
Diagnosa
Prakelahiran :Bila
diagnosa prakelahiran menghormati hidup dan ontegritas embrio serta fetus
manusia, dan diarahkan untuk perlindungan atau penyembuhan individualnya maka
jawabnya positif (secara moral dibenarkan)
b.
Intervensi
terapeutis pada embrio manusia : intervensi
pada embrio insani harus dianggap diperkenankan dengan syarat agar embrio bisa
mempertahankan hidup dan keutuhannya, dan jangan membawa serta bahaya tak
seimbang, melainkan dimaksudkan untuk menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatannya
atau dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan hidupnya.
c.
Penelitian dan
eksperimen dengan embrio dan Fetus :Penelituan
medis tak boleh mengadakan intervensi pada embrio hidup, kecuali ada kepastian
bahwa baik hidup maupun keutuhan anak yang belum lahir dan ibunya diancam
kerugian, dan dengan syarat bahwa orangtuanya menyetujui intervensi pada embrio
itu setelah mendapat informasi yang pasti dan memadai.
A.2. Sampai dengan kematian yang dikehendaki Tuhan
Kematian
manusia yang dikehendaki Tuhan
Manusia itu
dikatakan mati apabila secara definitif ia telah kehilangan segala kemampuan
untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasi fungsi-fungsi fisik dan mental
tubuhnya. Manusia juga dapat dikatakan mati apabila fungsi-fungsi jantung dan
pernapasan telah berhenti secara pasti atau bila segala kegiatan otak tak
berfungsi atau berhenti secara pasti.
Hak hidup itu diterima
langsung dari Allah (bukan dari orang lain). Oleh karena itu, tak seorangpun,
tiada kewenangan manusiawi, ilmu-ilmu pengetahuan, indikator
medis,eugenis,sosial ekonomis atau moril yang dapat menampilkan atau memberi
pembenaran yang sah yuridis bagi penyingkiran langsung dan sengaja dalam
kehidupan manusia yang tak bersalah secara khusus, tak sesuatu pun dan tak
seorangpun memberi kewenangan untuk membunuh manusia yang tak bersalah. Hak
atas hidup pada manusia yang tak bersalah sejak saat dia dikandung sampai
kematiannya tidak dapat diganggu-gugat, karena dalam hal ini Allah sendirilah
yang mempunyai hak atas hidup manusia.
Berkaitan dengan Euthanasia
Pada zaman kuno berarti
kematian tanpa penderitaan, tanpa rasa sakit yang berlebihan. Pengertian ini
terus berkembang sampai dengan saat ini dan untuk saat sekarang Eutanasia diartikan
lebih sebagai intervensi kedokteran untuk mengurangi rasa sakit atau pergumulan
dengan kematian; kadang-kadang ada bahaya untuk mengakhiri hidup sebelum
waktunya, sebab penderitaan harus dapat diringankan bukan dengan pembunuhan
melainkan dengan pendampingan orang lain.
Dalam ajaran Gereja
dikatakan bahwa : Tak sesuatupun dan tak seorangpun dapat memberi hak mematikan
manusia yang tak bersalah, entah menyangkut fetus, atau embrio, anak, atau
orang dewasa, lanjut usia, orang yang akan tersembuhkan dari penyakitnya atau
yang sedang akan meninggal. Tak seorangpun boleh meminta tindakan mematikan ini
bagi dirinya sendiri dan atau bagi orang lain, yang merupakan tanggungannya,
bahkan orang tidak boleh menyetujui tindakan itu baik eksplisit maupun implisit.
Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk
pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia atau
bunuh diri yang disengaja; apapun yang melanggar keutuhan pribadi manusia,
seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun
raga, usaha-usaha paksaan psikologis; apapun yang melukai martabat manusia,
seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak manusiawi
Dasar biblis yang
mendukung mengapa manusia tidak berkuasa atas hidupnya sendiri dan membiarkan
manusia menikmati kematian secara alam (yang dikehendaki Tuhan) adalah Ul.
32:39 dan Rm. 14:7-8. Ada juga ungkapan yang mengatakan bahwa mati, bagi Tuhan
berarti menghayati kematian diri sendiri sebagai ketaatan terakhir kepada
Bapa(bdk.Fil. 2:8), dengan kesiapan menerima kematian pada saat yang
dikehendaki dan ditentukan (bdk.Yoh. 13:1).
A.3. Hidup manusia adalah karunia Allah
Karunia Allah
Secara umum
kasih karunia dekat pemahamannya dengan istilah-istilah seperti kebaikan hati,
rahmat, berkat, damai sejahtera, ganjaran. Dalam kitab suci, ‘kasih
karunia’biasanya dikenakan pada Allah sendiri. Oleh karena itu, kasih karunia
secara luas diartikan sebagai segala sesuatu yang duberikan Allah kepada
manusia.
a.
Dalam Kitab Suci
Dalam Perjanjian
Lama, kasih
karunia terkait erat dengan peristiwa dalam karya keselamatan, misalnya
pembebasan orang Israel dari tanah Mesir (Kel. 13:17-22). Kasih karunia dialami
sebagai tindakan dan sikap Allah seperti keadilan, kesetiaan, dan belas kasih.
Dalam relasi Yahwe dan Israel, nampak nyata sifat kasih setia Allah kepada
Israel (Yes. 46:). Allah selalu menepati perjanjiannya sekalipun manusia tetap
saja tak setia (Yeh. 36:26-28). Allah selalu membaharui dan meneguhkan
perjanjiannya (Im. 26:9). Bahkan Allah memberikan sendiri RohNya agar manusia
bisa tetap setia pada perjanjianNya
(Yeh. 36:26-28). Maka, dalam Perjanjian Lama nyata terlihat bahwa gagasan
karunia Allah terangkum dalam kata ‘kasih dan setia’.
Dalam Perjanjian
Baru, gagasan
kasih karunia memang sangat mencolok nampak. Perjanjian Baru menyempurnakan
gagasan kasih karunia dalam Perjanjian Lama. Teks Perjanjian Baru yang paling
menyebut kasih karunia atau rahmat adalah surat-surat Paulus.
b.
Dalam Tradisi
Gereja
Paham kasih
karunia muncul dalam pemikiran Agustinus mengenai keselamatan. Agustinus
mengartikan rahmat sebagai pengaruh Allah dalam jiwa yang dikuasai oleh dosa.
Latar belakangnya adalah pengalaman Agustinus berdiskusi dengan Pelagius.
Pelagius mempertanyakan:
bagaimana
manusia dapat mencapai keselamatan? Bagi Pelagius, manusia harus mampu
bertanggungjawab atas tindakannya. Manusia pasti mampu menjamin keselamatannya
asal diberi contoh yang baik. Manusia telah diciptakan Allah dengan kemampuan
untuk hidup baik. Inilah yang disebut rahmat, oleh Pelagius. Pelagius
menekankan usaha manusia dan peranan moral untuk mencapai keselamatan.
Agustinus
menanggapi:
Sangat
diperlukan rahmat Allah untuk mencapai keselamatan. Manusia dikuasai oleh dosa,
maka tidak mungkinmenyelamatkan dirinya tanpa campur tangan Allah. Campur
tangan Allah itu merupakan anugerah cuma-cuma. Manusia tak punya hak atas
keselamatan. Keselamatan seluruhnya hanya berasal dari Allah. Pandangan
Agustinus diakui oleh konsili Karthago(418) dan pandangan Pelagius ditolak.
Konsili Trente
Trente
membicarakan rahmat dalam konteks ‘pembenaran’ yang dilontarkan oleh Luther.
Persoalan pokok reformasi adalah kebebasan Allah dan rahmat.
Kaum nominalis
Menekankan
kebebasan Allah dalam memberikan rahmatnya dan tidak terikat pada makhluk
ciptaannya melainkan terikat pada kebaikan dan kebijaksanaanNya sendiri yaitu
pada rencana keselamatan.
Luther
berpendapat:
Manusia
dibenarkan karena Kristus dalam iman (Rm. 3:24-25), ajaran Luther ini mau
menegaskan soal kerahiman Allah. Pembenaran adalah kerahiman Allah dan bukan
usaha atau perbuatan manusia. Rahmat Allah dalam diri Yesus Kristus merupakan
yang paling utama. Pembenaran mengarah pada keselamatan eskatologis. Dari pihak
manusia hanya dibutuhkan iman.
Pandangan Trente
Trente
menegaskan perlunya rahmat dalam pembenaran. Rahmat sama sekali tidak
menghilangkan kebebasan manusia dan tindakan baik manusia. Berhadapan dengan
rahmat Allah, manusia secara bebas dapat menanggapi atau menolak. Kasih karunia
Allah dan tanggapan manusia terhadap kasih itu yang menjadi penuh dalam diri
Yesus Kristus. Penebusan Kristuslah yang membuat semua orang berdosa mampu
berelasi lagi dengan Allah.
B.
Hidup manusia
harus dibela, dipelihara, dan dikembangkan dengan cara dan usaha-usaha yang
wajar.
B.1. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang
paling dasar
Hak asasi manusia adalah hak
yang ada karena eksistensi manusia itu sendiri, mulai ada sejak keberadaannya
sebagai manusia dan berakhir dalam kematiannya. Hak asasi itu statusnya lebih
tinggi daripada hukum positif sebab hak itu ada sebelum adanya hukum positif
dan digunakan untuk menilai validitas suatu produk hukum. Semua hak asasi
dimiliki manusia itu dibicarakan dalam kerangka dan demi manusia yang hidup.
Maka, hak untuk hidup menjadi syarat utama dan dasar, dalam membicarakan
tentang hak asasi manusia yang lain, mewujudkan, dan mengembangkan seluruh
potensi, aspirasi, dan cita-cita menjadi individu dan pribadi yang dewasa.
Hak untuk hidup menjadi hak
pertama dari semua hak asasi manusia, akar dari semua hak asasi manusia yang
lainnya. Yang dimaksud dengan hak (untuk) hidup adalah hak setiap orang untuk
untuk bebas dari ancaman yang dapat membahayakan atau menghilangkan hidup.
Hidup harus dibela manakala manusia berhadapan dengan ancaman-ancaman yang
dapat membahayakan atau menghilangkan hidup manusia itu sendiri. Hal ini
pulalah yang diserukan oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB pada
tanggal 10 desember 1948, “ Setiap
orang mempunyai hak untuk hidup, bebas, dan keamanan pribadi.”
B.2. Nilai intrinsik hidup manusia
Nilai intrinsik berarti
bahwa sesuatu itu dinilai berdasarkan nilai intern dirinya sendiri dan nilai
itu ada sejak keberadaan obyek itu dan berakhir dengan berakhirnya obyek
tersebut. Prinsipnya adalah bahwa manusia mempunyai nilainya (bermartabat)
bukan karena diberi nilai oleh seseorang atau oleh sebuah instansi, tetapi
manuisa bermartabat oleh karena dia adalah manusia. Nilai intrinsik itu
unikuntuk tiap pribadi. Keunikan dan kekhususan manusia itu sendiri menjadi
dasar mengapa kita harus melindungi hidup manusia.
B.3. Martabat manusia di hadapan Allah
Ajaran kristiani
menegaskan bahwa manusia bukan hanya puncak Karya Penciptaan Allah dan diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah (bdk. Kej 1, 27;9,6) tetapi manusia itu dijunjung lebih tinggi dengan
inkarnasi dan penebusan Kristus. Kristus yang adalah Allah putra dan gambar
Allah yang sempurna (Kol. 1:15), merendahkan diri dan mengambil rupa manusia
(Flp. 2:6-8), tetapi dengan demikian mengangkat kodrat manusia menjadi
anak-anak Allah dan menawarkan pengharapan akan keselamatan kepada umat
manusia. Sementara itu, Evangelium Vitae
meringkas inti ajaran katolik mengenai martabat hidup manusia sebagai berikut, “ Manusia diberi martabat yang sangat luhur,
berdasarkan ikatan mesra yang mempersatukannya dengan Sang Pencipta: dalam diri
manusia terpancarlah gambar Allah sendiri” (EV 34). Karena ikatan dengan
Sang Pencipta itulah, manusia diberi
kemampuan untuk berelasi dengan Allah,
untuk mengerti baik dan buruk, agar dapat mengerjakan hal-hal yang baik dan
mengambil tanggungjawab pribadi atas perbuatannya. Lebih lanjut lagi dikatakan
bahwa martabat hidup manusia itu dikaitkan bukan hanya dengan asal usulnya saja
yang berasal dari Allah, tetapi juga dengan tujuan akhir hidupnya yaitu
persatuan dengan Allah dalam pengetahuan dan kasih denganNya(EV 38). Inilah
yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain. Sebagai kesimpulan, Evangelium Vitae menegaskan bahwa “ hidup itu selalu merupakan harta yang tak ternilai.” (EV 34).
Dengan demikian, dapatlah dipahami juga mengapa hidup itu sungguh bernilai dan
harus dikembangkan ketika berhadapan dengan berbagai kendala yang dapat
menghambat perkembangan pribadinya sebagai manusia yang bermartabat dihadapan
Allah.
B.4. Nilai kesucian hidup manusia
Titik pangkal nilai
kesucian manusia adalah bahwa Allah sendirilah yang menciptakan manusia. Oleh
karena itu, kapanpun mulainya hidup manusia, disanalah bekerja Karya Penciptaan
Allah. Menurut asal-usulnya, ciptaan Allah itu suci dan baik adanya sebab
melibatkan karya penciptaan Allah. Donum
Vitae menekankan bahwa “ Hidup
manusia adalah suci sebab sejak permulaannya sudah menyangkut karya penciptaan
Allah dan akan tetap demikian selamanya dalam hubungan khusus dengan Sang
Pencipta yang adalah satu-satunya tujuan akhir hidupnya (Donum Vitae, pengantar 5). Oleh
karena yang menciptakan manusia adalah Allah, maka yang mempunyai dan berhak
untuk mengambil hidup manusia adalah Allah sendiri. Manusia bukanlah pemilik
absolut hidupnya, ia hanya sekedar penjaga dan administrator yang mengatur dan
memelihara hidupnya. Konsekuensinya, hidup manusia tidak boleh diambil secara sembarangan
oleh manusia lain. Justru, hidup itu harus dipelihara manakala berhadapan
dengan kebutuhan akan perawatan.
Dasar tuntutan etis penghormatan terhadap hidup
manusia:
Ø Martabat manusia sebagai pribadi
Setiap
manusia adalah pribadi yang mempunyai kemampuan dan kebebasan. Dengan kemampuan
dan kebebasan itu manusia berhak mengatur hidupnya, mengambil keputusan, dan
mempertanggungjawabkannya. Setiap manusia sebagai pribadi adalah unik dan
selalu mempunyai keterbukaan untuk mencapai kepenuhan. Kepenuhan itu diperoleh
dalam persatuan dengan Allah. Disini tampak bahwa setiap orang wajib untuk
menghormati hidup sesama manusia.
Ø Kebersamaan dengan sesama
Dalam
menghayati hidup sebagai pribadi, manusia berada dalam kebersamaan dengan
sesama. Dalam kebersamaan itu manusia saling membantu, mendukung, dan
memperkembangkan dirinya. Oleh karena itu, setiap pribadi dalam kebersamaan
mempunyai peran yang unik dan tak tergantikan. Kewajiban untuk menghormati
kehidupan demi nilai dan tujuan kebersamaan mutlak diperlukan. Sebab,
menghancurkan hidup seorang manusia pada akhirnya berarti merugikan hidup
bersama.
Ø Nilai hidup jasmani
Nilai
hidup jasmani merupakan nilai paling dasar dan paling pokok. Paling dasar
artinya mendasari semua nilai jasmani lainnya. Pokok artinya, mendapat tempat
pertama dan utama jika berbenturan dengan nilai jasmani lainnya. Oleh karena
itu, nilai jasmani tidak boleh dikorbankan demi kepentingan nilai jasmani
lainnya yang lebih rendah. Bagian ini menunjuk bagaimana cara pembelaan,
pemeliharaan, dan pengembangan hidup manusia. Usaha untuk memelihara hidup
manusia itu meliputi: memelihara
kesehatan, mencegah penyakit dan rasa sakit, menyembuhkan penyakit dan
mengurangi rasa sakit, pemulihan kesehatan, dan mencegah kematian dalam bahaya
maut. Sedangkan usaha-usaha itu dapat dilakukan dengan: 1) cara yang wajar atau biasa atau ordinaria dan
2) cara yang luar biasa atau ekstra
ordinaria (dimana orang tidak diwajibkan untuk mengadakan pengobatan dan
bantuan medis karena: secara medis tak dapat disembuhkan , biaya pengobatan
terlalu mahal bagi pasien, pengobatan harus ditempat yang jauh, obat harus
didatangkan dari luar negeri).
Sebagai
prinsip umum, pemeliharaan kehidupan kita lakukan dengan cara-cara yang wajar.
Artinya: 1) pemeliharaan kehidupan dilakukan dengan usaha-usaha yang sesuai
dengan kemampuan. 2) sesuai dengan kemampuan ekonomi orang itu sendiri atau
keluarganya. 3) tidak merugikan perkembangan manusia, yakni menolak segala
intervensi yang ingin menghancurkan hidup manusia. Walaupun demikian hidup
jasmani tidaklah selalu merupakan nilai yang tertinggi.
Hidup
jasmani memang menjadi dasar bagi kehidupan manusia, karena dengan jasmani
inilah manusia bisa mengaktualisasikan dirinya, manusia bisa mengembangkan
nilai-nilai yang lebih luhur. Kalau orang sudah mati, tentu tidak bisa apa-apa!
Namun hidup jasmani bukanlah nilai yang tertinggi. Nilai yang tertinggi justru
terdapat dalam perkembangan secara rohaniah melalui nilai-nilai luhur yang
diyakini.
Hidup
jasmani tidak mempunyai nilai mutlak, sehingga sampai tidak boleh dikorbankan.
Hidup jasmani mempunyai nilai relatif yang harus diletakkan dalam konteks
pengabdian kepada Allah dan sesama. Jangan sampai kehidupan jasmani justru
menjadi penghalang kepribadian untuk memeluk nilai-nilai yang lebih luhur. Hal
ini mirip dengan apa yang dikatakan Yesus sendiri “ Barangsiapa ingin mengikuti
Aku, ia harus membenci dirinya sendiri” (Bdk. Luk. 14:26; Yoh. 12:25).
Bebarapa problem atau
kasus dalam usaha pemeliharaan hidup manusia:
1.
Euthanasia
Artinya: intervensi atau tindakan medis
untuk mempercepat kematian seseorang.
Dibedakan:
Ø Euthanasia Aktif
atau Positif Langsung (= pembunuhan):
pemberian obat atau tindakan
medis untuk mempercepat kematian seseorang. Penilaian moral: Tidak dapat
dibenarkan karena: sama dengan pembunuhan, mengingkari Tuhan sebagai Pencipta
dan penguasa kehidupan (Rm. 14:7-9; Fil. 1:20-24).
Ø Euthanasia Aktif
atau Positif Tak Langsung: pemberian obat atau bantuan medis untuk mengurangi
rasa sakit dengan efek samping dapat mempercepat proses kematian. Misal
pemberian pil analgetik kepada penderita CA(Cancer
Antingen) yang tidak dapat disembuhkan tetapi hanya untuk menghilangkan
rasa sakit. Penilaian moral: dapat dibenarkan, dengan syarat: 1) dengan
persetujuan pasien yang bersangkutan. 2) dosis proporsional: sebatas untuk
mengurangi rasa sakit.
Ø Euthanasia Pasif
atau Negatif: peniadaan
pemberian obat atau tindakan medis yang mungkin masih dapat membantu penderita
dalam mempertahankan hidup untuk jangka waktu tertentu. Soal moral dapat
dipertanggungjawabkan dengan syarat: 1) dari segi medis tak dapat
disembuhkan. 2) harga obat dan biaya
tindakan medis tersebut terlalu mahal. 3) dibutuhkan usaha ekstra untuk
mendapatkan obat atau tindakan medis, misalkan harus didatangkan dari luar negeri.
2.
Aborsi
Artinya: intervensi medik atau non medik
untuk mematikan janin, pengguguran. Beberapa penilaian etik terhadap
pengguguran secara rinci: indikasi sosial-ekonomi, eugenik, psikis-psikologis,
medik.
Dibedakan:
Ø Pengguguran
Langsung atau ADP: pengguguran dimana kematian janin dikehendaki sebagai tujuan
atau sarana mencapai tujuan. Secara moral tidak dapat dibenarkan, karena sama dengan pembunuhan, yang dibunuh
adalah janin yang tidak bersalah.
Ø Pengguguran Tak
Langsung atau keguguran atau AIP: pengguguran dimana kematian janin tidak
dikehendaki melainkan sebagai akibat usaha untuk menyembuhkan penyakit ibu.
Secara moral dapat dibenarkan, karena kematian janin sama sekali tidak
dikehendaki melainkan sebagai akibat usaha untuk meyembuhkan penyakit ibunya.
3.
Transplantasi
Organ
Artinya: usaha untuk mendonorkan organ
tubuh (mata, ginjal, dsb). Pemindahan organ dapat dipertangungjawabkan jika: 1)
bagi pihak donor tidak akan menimbulkan bahaya untuk hidup dan kesehatannya,
melainkan menjadi pendukung usaha untuk memperkembangkan diri. 2) bagi pihak receptor
organ tersebut diperlukan untuk menyelamatkan hidup. 3) masalah harus
dipertimbangkan secara kasus per kasus.
4.
Inseminasi
Artifisial
Artinya: intervensi dalam prokreasi
manusia, misalnya bayi tabung. Penilaian moral: 1) Inseminasi Artifisial
Heterolog (dengan benih donor) harus ditolak karena anak merupakan buah
perkawinan monogam (tanpa campur tangan pihak ketiga). 2) Inseminasi Artifisial
Homolog (benih sendiri) ditolak karena hubungan seksual adalah penyatuan cinta
kasih dan prokreasi.
5.
Penyempurnaan
Organ Kelamin
Artinya: dibedakan dengan operasi ganti
kelamin. Dibedakan menjadi dua: 1) Operasi Terapeutik (orang memiliki kelainan
bawaan interseksual, hermafrodit). Secara moral dapat dipertanggungjawabkan .
2) Operasi kepada orang yang memiliki kelainan bawaan transeksual, memiliki
satu organ seks namun secara psikis bertentangan. Secara moral dapat
dipertaggungjawabkan bila merupakan jalan terakhir untuk membantu
penyembuhan, dan memperkembangkan pribadi secara penuh.
DAFTAR
PUSTAKA
Chang, Wiliam, OFM Cap.
Bioetika: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Kanisius. 2009.
Kusmaryanto, CB, SCJ. Kontroversi Aborsi. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
2002.
. Tolak Aborsi:Budaya Kehidupan
Versus Budaya Kematian. Yogyakarta: Kanisius. 2005.
NAMA :
GREGORIUS TAKE, MSA
TINGKAT :
1(SATU)
KOMUNITAS : ST.HIRONIMUS MALANG