Minggu, 25 November 2012


LAGU - LAGU SANUBARI



  Kekaguman menyelimuti hati, ketika kakiku melangkah perlahan memasuki ruangan sederhana dalam Biara Novisiat Karmel Batu. Rasa sungkan dan segan berkecamuk dalam dada. Dari suasana ingar-bingar, serta deru kendaraan dan musik jalanan, kini ku dihadapkan pada kesunyian mendalam, dari sebuah rumah yang seakan-akan tak berpenghuni. Saat itu terlintas bahwa aku bagaikan terkurung dalam sebuah gua yang menyeramkan.
  Pagi itu, sungguh merupakan suatu kesunyian, kesenyapan, dan kehampaan dari ribut gaduh, kebisingan, dan gelak tawa keramaian. Kini ku dihadapkan pada kesunyian. Sunyi dan sungguh mencekam.                                                                         Hembusan angin sepoi-sepoi menerobos masuk melalui terali besi hingga tubuhku terasa bagaikan sekarung es batu yang berhamburan di tubuhku. Begitu juga hempasan angin menerpa dedaunan di luar ruangan begitu keras terdengar. Suara pijakan yang menyentuh lantai menerjang telingaku, apalagi novis-novis begitu hening dan diam dalam melakukan kerja harian. Semua terlihat begitu serius dalam bekerja.

   Dalam kesenyapan dan kesunyian tampak di hadapanku seorang Pastor pembimbing novis menyapa dalam senyuman kesunyian. Tatapan wajahnya memancarkan kedamaian, keceriaan, kesederhanaan, keakraban, serta kebaikan hati yang terlihat jelas dalam tatapan matanya yang sudah agak suram lantaran usia yang tak lagi bersahabat, tapi sungguh kutemukan dan kurasakan kebahagiaan. Seraya memanggilku dalam bisikan syahdu, Marilah masuk dalam kesunyian, jangan takut dan ragu,Anakku’.” Sekarang waktunya kita berdoa”, begitulah ajakan suara yang agak tersendat-sendat dan parau, Pastor Belanda itu dalam kesunyian yang keluar dari hati bening bersih. Kemudian, ku langkahkan kaki ke ruangan berikutnya dan ku temukan sebuah ruang doa. Tatkala pintu di buka, dalam kesunyian ku memandang Salib Yesus yang tergantung begitu indah dengan warna yang cerah di belakang altar. Bunga segar dan lilin yang bernyala seakan-akan menyapa hatiku,” Marilah Saudaraku. Datanglah! Kamu yang letih lesu dan berbeban berat”
    Kemudian kuberlutut dan berdoa, ”Tuhan, begitu bahagianya aku berada di tempat ini. Begitu damainya hati ini. Terima kasih bahwa Engkau telah menuntun langkahku ke tempat ini”. Dalam kesunyian ini, aku mencoba memandang-Mu yang tergantung tanpa daya di Salib. Aku merasakan kehadiran-Mu di Tabernakel, dan aku seakan-akan melihat diriku sendiri dalam cermin dengan jelas! Aku melihat kemalasan, kehampaan, dan ketakberdayaan.
      Di saat lonceng berdentang, para Frater novis Karmelit masuk satu per satu menuju ke tempat duduknya. Berlutut, berdoa sejenak dan menyembah Sang Pujaan Hati yang bertakhta di Salib. Jubah coklat menghiasi deretan bangku-bangku kapela, bagaikan barisan para Malaikat di sekitar singgasana Tuhan. Dalam kesunyian itu, terdengar suara para novis bergema dalam ruangan mungil itu. Batinku terasa begitu dekat , dan terasa berada dalam dekapan Sang Empunya kehidupan. Tak lama kemudian,  suara-suara menghilang pertanda bahwa telah usai pertemuan mereka dengan Sang Khalik.
  Setelah mendendangkan lagu sanubari itu, para Karmelit serentak diam, dan meninggalkan ruangan itu dengan derap langkah yang hampir tak bisa di tangkap oleh indera pendengaranku.
Satu setengah jam, ku duduk tanpa berkata apapun. Perasaan senang dan sedih menyatu dan pikiranku kadang melayang-layang entah kemana. Hati berkata banyak tentang Hidup Rohani, Tuhan, dan hidup para Karmelit yang kulihat.`
   Walaupun agak berat untuk meninggalkan tempat itu, tapi apa boleh buat ku harus pamit dan pulang. Hatiku terasa tentram, bahagia, dan damai. Hidupku seakan-akan dikuatkan dan rohaniku diteguhkan. Dan kini ku berhadapan dengan keramaian, kebisingan, dan hiruk-pikuk suasana dan hal-hal duniawi. Dalam keramaian dunia, kucoba menenangkan pikiran dan batin yang digerogoti virus-virus kesibukkan, kesombongan, keangkuhan, gila hormat dan jabatan. Virus itupun telah meluluhlantahkan kesetiaan, kemurnian, doa, kerendahan hati dan kesederhanaan hidup. Perlahan-lahan kumulai masuk ke dalam diriku dan berusaha mendengar lagu-lagu sanubari sendiri dan tanpa kusadari mulutku mendendangkan  lagu di hadapan Tuhan.
   Dan sejak saat itu, ku berada dalam alunan keramaian dunia, tangisan hati seorang bayi yang mencari kasih ibundanya, suara-suara pilu yang menyayat hati Kaum Hawa yang mencari putra-putrinya, dan terlintas dalam benakku tangan pengemis yang meminta belaskasihan dan uluran tangan dari kaum berduit. Suara-suara mereka bagaikan sebuah simponi lagu-lagu dari sanubari, dalam ribut gaduh dunia ini. Indah dan mempesona menyentuh rasa dalam kalbu. Suara itu bagaikan sebuah konser kehidupan yang didendangkan  bersama-sama dalam ziarah kehidupan. 
    Dalam kesedihan kupandangi gambar wajah Yesus yang tersalib, dan mulutku bergeming:
Allahku ya Allahku,  mengapa Kau meninggalkan daku? Aku mengeluh, meratap dan menangis,
Namun tak ada yang datang menghibur, aku hanya merenung dalam kehampaan.
Saat itu kudengarkan suara lembut menyapaku : ”AKU BERKATA KEPADA-MU,SESUNGGUHNYA HARI INI JUGA ENGKAU AKAN BERSAMA DENGAN AKU DI TAMAN  FIRDAUS”.

BY;
FR.GORIS TAKE, MSA