Selasa, 30 April 2013

Hidup manusia sebagai karunia Allah harus dibela, dipelihara, dan dikembangkan dengan cara-cara dan usaha-usaha yang wajar



Hidup manusia sebagai karunia Allah harus dibela, dipelihara, dan dikembangkan dengan cara-cara dan usaha-usaha yang wajar
 
A.    Hidup manusia adalah karunia Allah
A.1. Sejak awal keberadaannya
        Berkenaan dengan hidup manusia sebagai karunia Allah, maka kita bersama akan melihatnya jauh ke depan dari awal permulaan kehidupan manusia hingga kematiannya.
Awal keberadaan manusia yang dikehendaki Tuhan
        Kapan manusia mulai dikatakan ada (hidup)? Persoalan kemudian: kapan manusia bernilai moral dan hukum? Ada suatu problem untuk menentukan permulaan hidup manusia ini. Problem ini menjadi diskusi yang cukup panjang lebih-lebih berkaitan dengan masalah pengguguran (Aborsi). Orang-orang atau pihak-pihak terkait yang mendukung legalisasi pengguguran menyebut sebagai salah satu alasan pendukung adalah hipotese yang mengatakan bahwa setelah pembuahan, janin itu belum pribadi sepenuhnya, maka juga belum mempunyai hak asasi untuk hidup sehingga dapat digugurkan bila tidak dikehendaki adanya. Berikut ini berbagai hipotese tentang awal hidup manusia :
·         Penentuan tentang awal kehidupan terkait dengan late animation (penyawaan tertunda) dan quickening (gerakan bayi). Menurut aliran ini, janin hasil pembuahan tidak serta merta mempunyai nyawa (jiwa), akan tetapi baru akan terjadi beberapa hari atau bulan sesudahnya. Oleh karena masuknya nyawa (ensoulment) baru terjadi lama sesudah pembuahan (late animation). Adanya nyawa (jiwa) yang masuk ke dalam janin ditandai dengan adanya gerak bayi (quickening), sebab gerakan adalah unsur dinamis dari nyawa yang bisa dideteksi dengan adanya gerak. Pendapat ini berasal dari Biologi Aristotelian. Menurut Aristoteles, hidup manusia mempunyai 3 tahap perkembangan (vegetative, sensitive / hewani, dan rasional / intellective). Bagi Aristoteles, nyawa baru masuk ke janin pada umur 40 hari untuk janin laki-laki dan 90 hari untuk janin perempuan. Pemikiran ini kemudian diikuti juga oleh Thomas Aquinas.
·         Pre-embrio berarti sebelum embrio. Istilah pre-embrio ini dipakai untuk menamai janin sejak saat pembuahan sampai berumur 14 hari. Dalam peristilahan pre-embrio inilah ditentukan kapan awal kehidupan manusia.
                 Yang pertama, awal kehidupan manusia dimulai sejak 14 hari sesudah pembuahan. Sebelum hari ke-14 sesudah pembuahan, belum ada pribadi manusia karena masih terdapat kemungkinan terjadi bayi kembar. Zigot[1] belum punya RNA[2] sendiri yang berfungsi sebagai life director, perkembangannya masih diatur oleh RNA dari sel telur. Ia hanya mempunyai DNA atau informasi genetik yang diperlipatgandakan dengan pembelahan diri. Dengan demikian, ia belum mempunyai individualitas .
                  Yang kedua, awal kehidupan manusia dimulai sejak 6 atau 7 hari sesudah pembuahan (sejak Nidasi). Sebelum ada nidasi belum ada kehidupan manusia. Alasannya adalah :
·         50%-60% sel telur yang sudah dibuahi tidak berhasil bernidasi. Maka tak mungkinlah dikatakan bahwa sebagian besar pribadi manusia tak pernah mengalami hidup manusiawi.
·         Nidasi merupakan peristiwa mutlak agar sel telur tersebut dapat berkembang. Sebelum nidasi sel telur masih punya banyak kemungkinan. Baru pada saat nidasi, baru bisa dibedakan antara sel masa yang kemudian berkembang menjadi placenta dan sel diferensiasi yang selanjutnya menjadi janin.
·         Sebelum nidasi kemungkinan akan terjadi anak kembar. Maka belum ada individu, karena keunikan individu adalah sifat tak terbagi.
·         Sejak nidasi, sel telur yang dibuahi berelasi dengan ibunya. Unsur relasi inilah yang menjadi ciri khas setiap individu.

Kehidupan manusia dimulai sejak pembuahan (fekundasi). Kromosom patron yang terbentuk saat pembuahan sudah pasti akan berkembang menjadi manusia karena didalamnya sudah terkandung informasi genetik dan pembawaan dasar manusia yang akan terbentuk. Kromosom patron ini tak akan berubah secara mendasar walaupun ada pengaruh dari luar setelah kelahiran. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sejak pembuahan sudah terbentuk pribadi manusia.
Pandangan Kristiani Tentang Permulaan Hidup Manusia
            Kuasa mengajar Gereja selalu mengajarkan keyakinan bahwa sejak saat pembuahan sudah ada hidup manusia. Dasar biblisnya adalah Kejadian 1:26-28. Dokumen-dokumen yang menegaskannya adalah 1) GS 51: “Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulai melestarikan hidup manusia kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan cermat”. 2) Donum Vitae Bagian Pengantar no. 5: mulai dari saat pembuahan, hidup seorang manusia haruslah dihormati secara absolut sebab manusia itu satu-satunya ciptaan yang dikehendaki bagi dirinya sendiri dan jiwa rohaniahnya diciptakan segera oleh Allah.” 3) Evangelium Vitae  membicarakan tentang etika hidup manusia sejak awal mula keberadaannya sampai pada kematian naturalnya. Gereja juga mengajarkan bahwa sejak saat selesainya proses pembuahan, janin disebut persona. Donum Vitae 1,1: manusia harus dihormati sebagai pribadi (persona) sejak pertama kali keberadaannya. Sejak ovum itu dibuahi, sebuah hidup barutelah dimulai yang  bukan lagi hidup ayahnya atau ibunya.” Oleh karena itu, sejak masa pembuahan, janin mulai mendapat perlindunga hukum dan moral karena dia adalah persona. Masalah mengenai personalitas embrio bukanlah pertama-tama persoalan biologi tetapi  lebih merupakan persoalan filsafat atau hukum. Tetapi dalam mengambil suatu kesimpulan filosofis dibutuhkan data-data ilmiah dari para ahli biologi.
Secara lebih jelas Ajaran Gereja mengenai awal keberadaan setiap manusia dapat dilihat dalam Declaratio de Abortu Procurato (Konggregasi Ajaran Iman) art 12-13
Sejak sel telur dibuahi, mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup ibu, melainkan hidup manusia baru, yang berkembang secara mandiri. Ia tidak akan menjadi manusia, kalau belum manusia pada saat ini. Genetika modern secara mengagumkan meneguhkan perkara ini yang selalu jelas. Daripadanya jelas bahwa sejak saat pertama, ada struktur tetap manusia, manusia individual yang sudah dibekali dengan ciri khas yang tepat. Dengan pembuahan mulailah petualangan hidup manusia, yang cikal bakal orangya membutuhkan waktu untuk berkembanng dan bertindak. Penelitian embriologi menunjukkan indikasi berharga untuk menyimpulkan dengan akalbudi bahwa kehadiran seorang personal sudah pada  awal tampilnya kehidupan manusia. Berdasarkan data-data biologis, penentuan awal kehidupan dijelaskan bahwa Identitas dan status ontologis embrio manusia  telah terbentuk sejak selesainya pembuahan atau fertilisasi; karena fusion dua sel seks (gamet: sperm dan ovum) telah melahirkan genom manusia baru yang tidak berbeda dengan embrio-fetus-bayi dikemudian hari. Dalam level biologis, adanya hidup manusia harus didefenisikan dengan adanya program-program genetis yang dibentuk dan ditentukan saat pembuahan.
Acuan pada ajaran Gereja ini memberikan kriteria untuk pemecahan mendasar aneka masalah yang timbul karena perkembangan ilmu biomedik:
a.       Diagnosa Prakelahiran :Bila diagnosa prakelahiran menghormati hidup dan ontegritas embrio serta fetus manusia, dan diarahkan untuk perlindungan atau penyembuhan individualnya maka jawabnya positif (secara moral dibenarkan)
b.      Intervensi terapeutis pada embrio manusia : intervensi pada embrio insani harus dianggap diperkenankan dengan syarat agar embrio bisa mempertahankan hidup dan keutuhannya, dan jangan membawa serta bahaya tak seimbang, melainkan dimaksudkan untuk menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatannya atau dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan hidupnya.
c.       Penelitian dan eksperimen dengan embrio dan Fetus :Penelituan medis tak boleh mengadakan intervensi pada embrio hidup, kecuali ada kepastian bahwa baik hidup maupun keutuhan anak yang belum lahir dan ibunya diancam kerugian, dan dengan syarat bahwa orangtuanya menyetujui intervensi pada embrio itu setelah mendapat informasi yang pasti dan memadai.
A.2. Sampai dengan kematian yang dikehendaki Tuhan
        Kematian manusia yang dikehendaki Tuhan
                        Manusia itu dikatakan mati apabila secara definitif ia telah kehilangan segala kemampuan untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasi fungsi-fungsi fisik dan mental tubuhnya. Manusia juga dapat dikatakan mati apabila fungsi-fungsi jantung dan pernapasan telah berhenti secara pasti atau bila segala kegiatan otak tak berfungsi atau berhenti secara pasti.
                        Hak hidup itu diterima langsung dari Allah (bukan dari orang lain). Oleh karena itu, tak seorangpun, tiada kewenangan manusiawi, ilmu-ilmu pengetahuan, indikator medis,eugenis,sosial ekonomis atau moril yang dapat menampilkan atau memberi pembenaran yang sah yuridis bagi penyingkiran langsung dan sengaja dalam kehidupan manusia yang tak bersalah secara khusus, tak sesuatu pun dan tak seorangpun memberi kewenangan untuk membunuh manusia yang tak bersalah. Hak atas hidup pada manusia yang tak bersalah sejak saat dia dikandung sampai kematiannya tidak dapat diganggu-gugat, karena dalam hal ini Allah sendirilah yang mempunyai hak atas hidup manusia.
Berkaitan dengan Euthanasia
                        Pada zaman kuno berarti kematian tanpa penderitaan, tanpa rasa sakit yang berlebihan. Pengertian ini terus berkembang sampai dengan saat ini dan untuk saat sekarang Eutanasia diartikan lebih sebagai intervensi kedokteran untuk mengurangi rasa sakit atau pergumulan dengan kematian; kadang-kadang ada bahaya untuk mengakhiri hidup sebelum waktunya, sebab penderitaan harus dapat diringankan bukan dengan pembunuhan melainkan dengan pendampingan orang lain.
                        Dalam ajaran Gereja dikatakan bahwa : Tak sesuatupun dan tak seorangpun dapat memberi hak mematikan manusia yang tak bersalah, entah menyangkut fetus, atau embrio, anak, atau orang dewasa, lanjut usia, orang yang akan tersembuhkan dari penyakitnya atau yang sedang akan meninggal. Tak seorangpun boleh meminta tindakan mematikan ini bagi dirinya sendiri dan atau bagi orang lain, yang merupakan tanggungannya, bahkan orang tidak boleh menyetujui tindakan itu baik eksplisit maupun implisit. Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apapun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun raga, usaha-usaha paksaan psikologis; apapun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak manusiawi[3]
                        Dasar biblis yang mendukung mengapa manusia tidak berkuasa atas hidupnya sendiri dan membiarkan manusia menikmati kematian secara alam (yang dikehendaki Tuhan) adalah Ul. 32:39 dan Rm. 14:7-8. Ada juga ungkapan yang mengatakan bahwa mati, bagi Tuhan berarti menghayati kematian diri sendiri sebagai ketaatan terakhir kepada Bapa(bdk.Fil. 2:8), dengan kesiapan menerima kematian pada saat yang dikehendaki dan ditentukan (bdk.Yoh. 13:1).

A.3. Hidup manusia adalah karunia Allah
Karunia Allah
Secara umum kasih karunia dekat pemahamannya dengan istilah-istilah seperti kebaikan hati, rahmat, berkat, damai sejahtera, ganjaran. Dalam kitab suci, ‘kasih karunia’biasanya dikenakan pada Allah sendiri. Oleh karena itu, kasih karunia secara luas diartikan sebagai segala sesuatu yang duberikan Allah kepada manusia.
a.       Dalam Kitab Suci
Dalam Perjanjian Lama, kasih karunia terkait erat dengan peristiwa dalam karya keselamatan, misalnya pembebasan orang Israel dari tanah Mesir (Kel. 13:17-22). Kasih karunia dialami sebagai tindakan dan sikap Allah seperti keadilan, kesetiaan, dan belas kasih. Dalam relasi Yahwe dan Israel, nampak nyata sifat kasih setia Allah kepada Israel (Yes. 46:). Allah selalu menepati perjanjiannya sekalipun manusia tetap saja tak setia (Yeh. 36:26-28). Allah selalu membaharui dan meneguhkan perjanjiannya (Im. 26:9). Bahkan Allah memberikan sendiri RohNya agar manusia bisa tetap  setia pada perjanjianNya (Yeh. 36:26-28). Maka, dalam Perjanjian Lama nyata terlihat bahwa gagasan karunia Allah terangkum dalam kata ‘kasih dan setia’.
Dalam Perjanjian Baru, gagasan kasih karunia memang sangat mencolok nampak. Perjanjian Baru menyempurnakan gagasan kasih karunia dalam Perjanjian Lama. Teks Perjanjian Baru yang paling menyebut kasih karunia atau rahmat adalah surat-surat Paulus.



b.      Dalam Tradisi Gereja
Paham kasih karunia muncul dalam pemikiran Agustinus mengenai keselamatan. Agustinus mengartikan rahmat sebagai pengaruh Allah dalam jiwa yang dikuasai oleh dosa. Latar belakangnya adalah pengalaman Agustinus berdiskusi dengan Pelagius.
Pelagius mempertanyakan:
bagaimana manusia dapat mencapai keselamatan? Bagi Pelagius, manusia harus mampu bertanggungjawab atas tindakannya. Manusia pasti mampu menjamin keselamatannya asal diberi contoh yang baik. Manusia telah diciptakan Allah dengan kemampuan untuk hidup baik. Inilah yang disebut rahmat, oleh Pelagius. Pelagius menekankan usaha manusia dan peranan moral untuk mencapai keselamatan.
Agustinus menanggapi:
Sangat diperlukan rahmat Allah untuk mencapai keselamatan. Manusia dikuasai oleh dosa, maka tidak mungkinmenyelamatkan dirinya tanpa campur tangan Allah. Campur tangan Allah itu merupakan anugerah cuma-cuma. Manusia tak punya hak atas keselamatan. Keselamatan seluruhnya hanya berasal dari Allah. Pandangan Agustinus diakui oleh konsili Karthago(418) dan pandangan Pelagius ditolak.
Konsili Trente
Trente membicarakan rahmat dalam konteks ‘pembenaran’ yang dilontarkan oleh Luther. Persoalan pokok reformasi adalah kebebasan Allah dan rahmat.
Kaum nominalis
Menekankan kebebasan Allah dalam memberikan rahmatnya dan tidak terikat pada makhluk ciptaannya melainkan terikat pada kebaikan dan kebijaksanaanNya sendiri yaitu pada rencana keselamatan.
Luther berpendapat:
Manusia dibenarkan karena Kristus dalam iman (Rm. 3:24-25), ajaran Luther ini mau menegaskan soal kerahiman Allah. Pembenaran adalah kerahiman Allah dan bukan usaha atau perbuatan manusia. Rahmat Allah dalam diri Yesus Kristus merupakan yang paling utama. Pembenaran mengarah pada keselamatan eskatologis. Dari pihak manusia hanya dibutuhkan iman.
Pandangan Trente
Trente menegaskan perlunya rahmat dalam pembenaran. Rahmat sama sekali tidak menghilangkan kebebasan manusia dan tindakan baik manusia. Berhadapan dengan rahmat Allah, manusia secara bebas dapat menanggapi atau menolak. Kasih karunia Allah dan tanggapan manusia terhadap kasih itu yang menjadi penuh dalam diri Yesus Kristus. Penebusan Kristuslah yang membuat semua orang berdosa mampu berelasi lagi dengan Allah.

B.     Hidup manusia harus dibela, dipelihara, dan dikembangkan dengan cara dan usaha-usaha yang wajar.
B.1. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar
                  Hak asasi manusia adalah hak yang ada karena eksistensi manusia itu sendiri, mulai ada sejak keberadaannya sebagai manusia dan berakhir dalam kematiannya. Hak asasi itu statusnya lebih tinggi daripada hukum positif sebab hak itu ada sebelum adanya hukum positif[4] dan digunakan untuk menilai validitas suatu produk hukum. Semua hak asasi dimiliki manusia itu dibicarakan dalam kerangka dan demi manusia yang hidup. Maka, hak untuk hidup menjadi syarat utama dan dasar, dalam membicarakan tentang hak asasi manusia yang lain, mewujudkan, dan mengembangkan seluruh potensi, aspirasi, dan cita-cita menjadi individu dan pribadi yang dewasa.
                  Hak untuk hidup menjadi hak pertama dari semua hak asasi manusia, akar dari semua hak asasi manusia yang lainnya. Yang dimaksud dengan hak (untuk) hidup adalah hak setiap orang untuk untuk bebas dari ancaman yang dapat membahayakan atau menghilangkan hidup. Hidup harus dibela manakala manusia berhadapan dengan ancaman-ancaman yang dapat membahayakan atau menghilangkan hidup manusia itu sendiri. Hal ini pulalah yang diserukan oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tanggal 10 desember 1948, Setiap orang mempunyai hak untuk hidup, bebas, dan keamanan pribadi.[5]
B.2. Nilai intrinsik hidup manusia
                        Nilai intrinsik berarti bahwa sesuatu itu dinilai berdasarkan nilai intern dirinya sendiri dan nilai itu ada sejak keberadaan obyek itu dan berakhir dengan berakhirnya obyek tersebut. Prinsipnya adalah bahwa manusia mempunyai nilainya (bermartabat) bukan karena diberi nilai oleh seseorang atau oleh sebuah instansi, tetapi manuisa bermartabat oleh karena dia adalah manusia. Nilai intrinsik itu unikuntuk tiap pribadi. Keunikan dan kekhususan manusia itu sendiri menjadi dasar mengapa kita harus melindungi hidup manusia.
B.3. Martabat manusia di hadapan Allah
                        Ajaran kristiani menegaskan bahwa manusia bukan hanya puncak Karya Penciptaan  Allah dan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (bdk. Kej 1, 27;9,6) tetapi manusia itu dijunjung lebih tinggi dengan inkarnasi dan penebusan Kristus. Kristus yang adalah Allah putra dan gambar Allah yang sempurna (Kol. 1:15), merendahkan diri dan mengambil rupa manusia (Flp. 2:6-8), tetapi dengan demikian mengangkat kodrat manusia menjadi anak-anak Allah dan menawarkan pengharapan akan keselamatan kepada umat manusia. Sementara itu, Evangelium Vitae meringkas inti ajaran katolik mengenai martabat hidup manusia sebagai berikut, “ Manusia diberi martabat yang sangat luhur, berdasarkan ikatan mesra yang mempersatukannya dengan Sang Pencipta: dalam diri manusia terpancarlah gambar Allah sendiri” (EV 34). Karena ikatan dengan Sang Pencipta itulah,  manusia diberi kemampuan untuk berelasi dengan Allah[6], untuk mengerti baik dan buruk, agar dapat mengerjakan hal-hal yang baik dan mengambil tanggungjawab pribadi atas perbuatannya. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa martabat hidup manusia itu dikaitkan bukan hanya dengan asal usulnya saja yang berasal dari Allah, tetapi juga dengan tujuan akhir hidupnya yaitu persatuan dengan Allah dalam pengetahuan dan kasih denganNya(EV 38). Inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain. Sebagai kesimpulan, Evangelium Vitae  menegaskan bahwa “ hidup itu selalu merupakan harta yang tak ternilai.” (EV 34). Dengan demikian, dapatlah dipahami juga mengapa hidup itu sungguh bernilai dan harus dikembangkan ketika berhadapan dengan berbagai kendala yang dapat menghambat perkembangan pribadinya sebagai manusia yang bermartabat dihadapan Allah.
B.4. Nilai kesucian hidup manusia
                        Titik pangkal nilai kesucian manusia adalah bahwa Allah sendirilah yang menciptakan manusia. Oleh karena itu, kapanpun mulainya hidup manusia, disanalah bekerja Karya Penciptaan Allah. Menurut asal-usulnya, ciptaan Allah itu suci dan baik adanya sebab melibatkan karya penciptaan Allah. Donum Vitae menekankan bahwa “ Hidup manusia adalah suci sebab sejak permulaannya sudah menyangkut karya penciptaan Allah dan akan tetap demikian selamanya dalam hubungan khusus dengan Sang Pencipta yang adalah satu-satunya tujuan akhir hidupnya  (Donum Vitae, pengantar 5). Oleh karena yang menciptakan manusia adalah Allah, maka yang mempunyai dan berhak untuk mengambil hidup manusia adalah Allah sendiri. Manusia bukanlah pemilik absolut hidupnya, ia hanya sekedar penjaga dan administrator yang mengatur dan memelihara hidupnya. Konsekuensinya, hidup manusia tidak boleh diambil secara sembarangan oleh manusia lain. Justru, hidup itu harus dipelihara manakala berhadapan dengan kebutuhan akan perawatan.
Dasar tuntutan etis penghormatan terhadap hidup manusia:
Ø  Martabat manusia sebagai pribadi
Setiap manusia adalah pribadi yang mempunyai kemampuan dan kebebasan. Dengan kemampuan dan kebebasan itu manusia berhak mengatur hidupnya, mengambil keputusan, dan mempertanggungjawabkannya. Setiap manusia sebagai pribadi adalah unik dan selalu mempunyai keterbukaan untuk mencapai kepenuhan. Kepenuhan itu diperoleh dalam persatuan dengan Allah. Disini tampak bahwa setiap orang wajib untuk menghormati hidup sesama manusia.
Ø  Kebersamaan dengan sesama
Dalam menghayati hidup sebagai pribadi, manusia berada dalam kebersamaan dengan sesama. Dalam kebersamaan itu manusia saling membantu, mendukung, dan memperkembangkan dirinya. Oleh karena itu, setiap pribadi dalam kebersamaan mempunyai peran yang unik dan tak tergantikan. Kewajiban untuk menghormati kehidupan demi nilai dan tujuan kebersamaan mutlak diperlukan. Sebab, menghancurkan hidup seorang manusia pada akhirnya berarti merugikan hidup bersama.
Ø  Nilai hidup jasmani
Nilai hidup jasmani merupakan nilai paling dasar dan paling pokok. Paling dasar artinya mendasari semua nilai jasmani lainnya. Pokok artinya, mendapat tempat pertama dan utama jika berbenturan dengan nilai jasmani lainnya. Oleh karena itu, nilai jasmani tidak boleh dikorbankan demi kepentingan nilai jasmani lainnya yang lebih rendah. Bagian ini menunjuk bagaimana cara pembelaan, pemeliharaan, dan pengembangan hidup manusia. Usaha untuk memelihara hidup manusia itu meliputi: memelihara kesehatan, mencegah penyakit dan rasa sakit, menyembuhkan penyakit dan mengurangi rasa sakit, pemulihan kesehatan, dan mencegah kematian dalam bahaya maut. Sedangkan usaha-usaha itu dapat dilakukan dengan: 1) cara yang wajar atau biasa atau ordinaria dan 2) cara yang luar biasa atau ekstra ordinaria (dimana orang tidak diwajibkan untuk mengadakan pengobatan dan bantuan medis karena: secara medis tak dapat disembuhkan , biaya pengobatan terlalu mahal bagi pasien, pengobatan harus ditempat yang jauh, obat harus didatangkan dari luar negeri).
Sebagai prinsip umum, pemeliharaan kehidupan kita lakukan dengan cara-cara yang wajar. Artinya: 1) pemeliharaan kehidupan dilakukan dengan usaha-usaha yang sesuai dengan kemampuan. 2) sesuai dengan kemampuan ekonomi orang itu sendiri atau keluarganya. 3) tidak merugikan perkembangan manusia, yakni menolak segala intervensi yang ingin menghancurkan hidup manusia. Walaupun demikian hidup jasmani tidaklah selalu merupakan nilai yang tertinggi.
Hidup jasmani memang menjadi dasar bagi kehidupan manusia, karena dengan jasmani inilah manusia bisa mengaktualisasikan dirinya, manusia bisa mengembangkan nilai-nilai yang lebih luhur. Kalau orang sudah mati, tentu tidak bisa apa-apa! Namun hidup jasmani bukanlah nilai yang tertinggi. Nilai yang tertinggi justru terdapat dalam perkembangan secara rohaniah melalui nilai-nilai luhur yang diyakini.
Hidup jasmani tidak mempunyai nilai mutlak, sehingga sampai tidak boleh dikorbankan. Hidup jasmani mempunyai nilai relatif yang harus diletakkan dalam konteks pengabdian kepada Allah dan sesama. Jangan sampai kehidupan jasmani justru menjadi penghalang kepribadian untuk memeluk nilai-nilai yang lebih luhur. Hal ini mirip dengan apa yang dikatakan Yesus sendiri “ Barangsiapa ingin mengikuti Aku, ia harus membenci dirinya sendiri” (Bdk. Luk. 14:26; Yoh. 12:25).
                        Bebarapa problem atau kasus dalam usaha pemeliharaan hidup manusia:
1.      Euthanasia
Artinya: intervensi atau tindakan medis untuk mempercepat kematian seseorang.
Dibedakan:
Ø  Euthanasia Aktif atau Positif  Langsung (= pembunuhan): pemberian obat atau            tindakan medis untuk mempercepat kematian seseorang. Penilaian moral: Tidak dapat dibenarkan karena: sama dengan pembunuhan, mengingkari Tuhan sebagai Pencipta dan penguasa kehidupan (Rm. 14:7-9; Fil. 1:20-24).
Ø  Euthanasia Aktif atau Positif Tak Langsung: pemberian obat atau bantuan medis untuk mengurangi rasa sakit dengan efek samping dapat mempercepat proses kematian. Misal pemberian pil analgetik kepada penderita CA(Cancer Antingen) yang tidak dapat disembuhkan tetapi hanya untuk menghilangkan rasa sakit. Penilaian moral: dapat dibenarkan, dengan syarat: 1) dengan persetujuan pasien yang bersangkutan. 2) dosis proporsional: sebatas untuk mengurangi rasa sakit.
Ø  Euthanasia Pasif atau Negatif: peniadaan pemberian obat atau tindakan medis yang mungkin masih dapat membantu penderita dalam mempertahankan hidup untuk jangka waktu tertentu. Soal moral dapat dipertanggungjawabkan dengan syarat: 1) dari segi medis tak dapat disembuhkan.  2) harga obat dan biaya tindakan medis tersebut terlalu mahal. 3) dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis, misalkan harus didatangkan dari luar negeri.
2.      Aborsi
Artinya: intervensi medik atau non medik untuk mematikan janin, pengguguran. Beberapa penilaian etik terhadap pengguguran secara rinci: indikasi sosial-ekonomi, eugenik, psikis-psikologis, medik.
Dibedakan:
Ø  Pengguguran Langsung atau ADP: pengguguran dimana kematian janin dikehendaki sebagai tujuan atau sarana mencapai tujuan. Secara moral tidak dapat dibenarkan,  karena sama dengan pembunuhan, yang dibunuh adalah janin yang tidak bersalah.
Ø  Pengguguran Tak Langsung atau keguguran atau AIP: pengguguran dimana kematian janin tidak dikehendaki melainkan sebagai akibat usaha untuk menyembuhkan penyakit ibu. Secara moral dapat dibenarkan, karena kematian janin sama sekali tidak dikehendaki melainkan sebagai akibat usaha untuk meyembuhkan penyakit ibunya.
3.      Transplantasi Organ
Artinya: usaha untuk mendonorkan organ tubuh (mata, ginjal, dsb). Pemindahan organ dapat dipertangungjawabkan jika: 1) bagi pihak donor tidak akan menimbulkan bahaya untuk hidup dan kesehatannya, melainkan menjadi pendukung usaha untuk memperkembangkan diri. 2) bagi pihak receptor organ tersebut diperlukan untuk menyelamatkan hidup. 3) masalah harus dipertimbangkan secara kasus per kasus.
4.      Inseminasi Artifisial
Artinya: intervensi dalam prokreasi manusia, misalnya bayi tabung. Penilaian moral: 1) Inseminasi Artifisial Heterolog (dengan benih donor) harus ditolak karena anak merupakan buah perkawinan monogam (tanpa campur tangan pihak ketiga). 2) Inseminasi Artifisial Homolog (benih sendiri) ditolak karena hubungan seksual adalah penyatuan cinta kasih dan prokreasi.
5.      Penyempurnaan Organ Kelamin
Artinya: dibedakan dengan operasi ganti kelamin. Dibedakan menjadi dua: 1) Operasi Terapeutik (orang memiliki kelainan bawaan interseksual, hermafrodit). Secara moral dapat dipertanggungjawabkan . 2) Operasi kepada orang yang memiliki kelainan bawaan transeksual, memiliki satu organ seks namun secara psikis bertentangan. Secara moral dapat dipertaggungjawabkan bila merupakan jalan terakhir untuk membantu penyembuhan, dan memperkembangkan pribadi secara penuh.

DAFTAR PUSTAKA


Chang, Wiliam, OFM Cap. Bioetika: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. 2009.
Kusmaryanto, CB, SCJ. Kontroversi Aborsi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana                                                                                                     Indonesia. 2002.
                        . Tolak Aborsi:Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian. Yogyakarta: Kanisius. 2005.

NAMA                        : GREGORIUS TAKE, MSA
TINGKAT                  : 1(SATU)
KOMUNITAS            : ST.HIRONIMUS MALANG





[1]  Hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma akan tetapi belum mulai membelah diri. Berasal dari kata zygotos (bahasa Yunani) yang berarti pasangan
[2]  Ribonucleic acid
[3]  GS art.27
[4]  Hukum positif adalah kristalisasi hak-hak asasi manusia dalam bentuk yang spesifik dan menjadi dasar dari seluruh ordonansi yuridis. Bdk. Kusmaryanto, CB, Tolak Aborsi, hlm 64.
[5]  Idem. hlm 67
[6]  Kemampuan untuk berelasi dengan Allah ini adalah “ kemampuan spiritual yang merupakan kekhasan manusia seperti halnya akal budi, kemampuan untuk memilih yang baik dan yang jahat, dan kehendak bebas” (EV 34).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar